Inikah Rasanya Cinta

Gue memasukkan surat itu ke dalam amplop ungu bergambar tupai-tupai kecil. Gue akan membungkus kado dan surat itu menjadi satu. Tidak pernah ada pekerjaan yang lebih membingungkan buat seorang cowo selain harus membungkus kado. Dengan kemampuan seadanya, kado dan surat itu akhirnya gue bungkus serapi mungkin. Jika di sekolah ada ujian membungkus kado, mungkin gue akan selalu ikut remedial. Dengan tergesa-gesa gue mengambil handuk untuk mandi. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah tidak mungkin gue bersantai-santai lagi.

Setelah mandi dengan terburu-buru, sekarang gue sudah siap untuk berangkat. Jersey home Manchester United musim 2013/2014 yang melekat di tubuh gue menumbuhkan kepercayaan diri tersendiri. Gue terlihat lebih gagah dari biasanya. Segera gue memanaskan mesin motor gue dan bersiap pergi. Tujuan pertama adalah rumah Mira, perempuan yang sudah lama menjadi sahabat gue. Di sana gue telah berjanji untuk bertemu dengan Mira dan Riko, sahabat gue juga. Kami sudah bersahabat sejak SD. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk tidak melanjutkan persahabatan kami hingga sekarang.

Karena jam pulang kantor sudah lewat, hanya butuh beberapa menit bagi gue untuk tiba di rumah Mira yang memang tidak terlalu jauh dari rumah gue. Sesampainya di sana, Mira, Riko, dan Nyokapnya Mira sedang asik mengobrol. Kedatangan gue yang terlambat dari waktu seharusnya pasti membuat mereka jengkel.

                ‘Wihh enak bener ya, yang ngajak ketemuan jam tujuh malah dateng telat,’ sindir Riko begitu gue masuk ke rumah Mira. Gue cuma nyegir ke mereka, karena gue tahu mereka tidak benar-benar marah.

                ‘Iya sorry, tadi gue bungkus kadonya lama, maklumlah. Oiya selamat malam, Tante,’ gue memberi salam ke Nyokapnya Mira.

              ‘Yaudah nih kalian minum dulu ya. Abis ini kalian mau kemana?’ tanya Nyokapnya Mira pada kami.

                ‘Mau beli kue dulu, baru abis itu ke rumah orangnya,’ ujar Mira bersemangat.

Sudah lama gue, Mira, dan Riko tidak berkumpul lagi seperti hari ini. Sibuk dengan urusan di sekolah masing-masing telah membuat kami jarang bertukar kabar. Bertemunya kami hari ini adalah ide gue, yang memang sengaja mengajak mereka membuat surprise visit untuk seorang sahabat kami.

                ‘Oh gitu. Kalian udah bilang sama dia belom?’
                ‘Kalo kita bilang, jadinya bukan kejutan dong, Ma,’ ujar Mira setelah menghabiskan minumannya.
                ‘Yaudah kita jalan sekarang, takut kemaleman nanti,’ kata Riko dengan gaya bapak-bapak.
                ‘Kalo gitu kita pamit ya, Tante,’ ujar gue. Datang belakangan, pergi duluan.
                ‘Kalian hati-hati. Jangan pulang kemaleman, ya.’


Hari ini, tepat setelah ujian nasional selesai diadakan, kami berencana memberi surprise untuk sahabat kami yang berulang tahun. Kami ingin mengunjungi rumahnya dengan membawa kue dan kado. Sebagai pelengkap kejutan ini, kami sengaja belum mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya sepanjang hari ini. Mungkin dia akan berpikir, ‘Jahat banget sahabat-sahabat gue, gak ada yang inget sama ulang tahun gue.’ Padahal kami akan memberikan yang lebih dari sekedar ucapan selamat ulang tahun. Gue sendiri tidak hanya memberi kado kepadanya, tapi juga sebuah surat yang akan menyempurnakan makna ulang tahunnya.

Happy Birthday Sheylla!
Selamat ulang tahun ke-18 ya.
Semoga panjang umur, sehat selalu, murah rejeki,
sayang orangtua, rendah hati, tercapai semua mimpi dan cita-cita,
 dan bisa sukses bareng masuk FISIP.
Tuhan memberkati.
Hope you like this one.

-FG-





Berdasarkan usul dari Mira, kami akhirnya membeli kue tiramisu di sebuah toko kue dekat rumah Sheylla, lengkap dengan lilin angka delapan belas. Sekarang kami siap menuju ke rumahnya, atau lebih spesifik lagi, gue siap menuju ke rumahnya. Usaha kami hari ini adalah ide gue, karena gue ingin memberi sesuatu yang berkesan padanya. Dia adalah orang yang spesial bagi gue, entah hal itu disadari atau tidak olehnya. Bagi gue, keberadaannya adalah alasan terkuat gue untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri, karena secara kebetulan kami ingin masuk ke fakultas yang sama, meskipun jurusannya berbeda. Cinta bisa menjadi motivator mujarab. Ini adalah sebuah perjuangan cinta bagi gue. Kalau salah satu dari kami tidak berhasil, mungkin gue akan kehilangan love of my life, yang belum tentu bisa gue temukan lagi.

Ketika kami sampai di depan rumahnya, kami segera mempersiapkan kue yang kami bawa, sambil berharap dia memang ada di rumah. Jika saat ini dia sedang pergi, sia-sialah usaha kami. Riko, sebagai yang paling tua di antara kami, memberanikan diri untuk mengetuk pagar rumahnya.

                ‘Permisi,’ ujar Riko beberapa kali. Suasana rumahnya yang besar memang agak sepi.
Kami menunggu cukup lama sampai akhirnya seseorang keluar menghampiri kami. Gue menduga ia adalah Omanya Sheylla.

                ‘Permisi, Sheyllanya ada di rumah, Oma?’ ujar gue, sopan.

               ‘Iya ada kok, masuk aja. Lewat pintu samping itu,’ dengan ramah Omanya Sheylla mempersilakan kami masuk.

Sejenak kami menunggu di dekat pintu, menunggu Sheylla keluar setelah dipanggil Omanya. Dan ketika melihat kami, dia teriak histeris. Teriakan kebahagiaan. Refleks, Sheylla langsung memeluk Mira saat itu juga.

               ‘Happy Birthday yaaa,’ ucap kami bertiga.
  
             ‘Iya makasih ya. Gue kira lo semua gak ada yang inget ulang tahun gue. Abis gak ada yang ngucapin sih dari pagi,’ Sheylla menjelaskan dengan semangat. Tidak mungkin kami lupa tanggal ulang tahun Sheylla.
  
              ‘Itu kita sengaja supaya makin surprise hehe,’ Mira tidak kalah bersemangat.
  
              ‘Yaudah ngobrolnya nanti dulu, sekarang tiup lilin sama foto dulu ya,’ kata gue memberi komando. Jika tidak demikian, keberadaan gue dan Riko mungkin akan dianggap kasat mata oleh dua perempuan tukang gosip ini.

            ‘Ayo make a wish dulu. Lilinnya gue nyalain ya,’ ujar Mira pada Sheylla yang langsung memejamkan mata dan berdoa.

Gue segera mengeluarkan ponsel dan bersiap jadi juru foto. Mira yang bertugas memegang kuenya, sedangkan Riko jadi pawang nyamuk. Sampai di sini, semua rencana dan ekspektasi gue berjalan lancar dan tidak ada tanda-tanda akan datang masalah.

Dengan cepat gue langsung memberikan kado yang gue bawa kepada Sheylla. Satu kata ‘makasih’ beserta senyum bahagianya sudah cukup bagi gue yang menjadi dalang rencana ini. Gue merasa usaha dan niat gue tidak sia-sia. Malam ini semua akan baik-baik saja, pikir gue.

                ‘Yaudah yuk masuk aja ke dalem, ada temen-temen gue juga kok. Biar rame,’ ujar Sheylla setelah dia menerima kado pemberian gue.

                ‘Serius? Rame gak? Gak apa-apa nih kita gabung begini?’ tanya gue, brutal. Jelas gue tidak menduga hal ini. Satu-satunya hambatan yang terlintas di otak gue terkait rencana ini adalah Sheylla dan keluarganya pergi makan malam di luar. Gue justru menduga jika siang harinya Sheylla merayakan ulang tahun bersama teman-teman sekolahnya, maka kami akan datang sebagai penutup di hari ulang tahunnya. Tapi gue tidak menyangka jika mereka akan melakukan hal yang sama.

                 ‘Cuma empat orang, kok. Cewe-cewe. Udah ayo masuk aja,’ ajak Sheylla lagi.

Cuma empat orang, kok. Cewe-cewe.
Ucap gue dalam hati, mengulangi apa yang baru saja Sheylla katakan. Gue berusaha memercayainya. Kami pun akhirnya masuk ke dalam rumahnya. Dan ketika bertemu dengan teman-temannya, jantung gue rasanya mau meledak. Memang benar cewe-cewe, ada tiga orang. Tapi satu hal yang membuat gue jengkel adalah keberadaan satu orang teman Sheylla lagi yang ternyata cowo.

Dan dari sini, gue yakin semuanya tidak akan baik-baik saja.



Ketika kami datang, teman-teman Sheylla terlihat agak kaget, namun mereka sebisa mungkin menyembunyikan perasaan mereka.

                ‘Halo, ini temen-temen lamanya Sheylla ya? Kenalin ke kita satu-satu dong, La,’ ujar satu orang cewe di antara mereka.

                ‘Iya-iya. Yang cewe Mira, anak SMK Tarakanita. Yang pake baju merah Febry, SMA Antonius. Terus yang pake kacamata Riko, anak Fons Vitae,’ jelas Sheylla dengan sigap.

Gue masih hilang fokus. Gue tidak terlalu memperhatikan obrolan mereka. Gue masih belum pulih dari kalimat ‘Cuma empat orang. Cewe-cewe.’ Gue yakin ada sesuatu yang tidak beres.

                ‘Oke deh, anak swasta semua ya. Kenalin ya kita temennya Sheylla,’ ujar cewe yang bertanya tadi.

                ‘Iya salam kenal juga hehe,’ jawab Riko dan Mira.

Gue tidak menjawab. Bukan karena gue orang yang cool. Bukan juga karena gue orang yang sombong. Tetapi karena gue masih tidak percaya dengan apa yang baru saja gue lihat. Situasi saat ini memang agak canggung. Tidak ada interaksi secara langsung antara kami dan mereka. Kami semua hanya mengobrol dengan teman masing-masing. Sesekali gue curi-curi pandang ke cowo yang ternyata duduk di samping Sheylla. Semenjak kami datang, cowo itu sibuk memegangi ponsel. Dan yang lebih membuat gue jengkel adalah ketika gue baru sadar ponsel yang dipegang cowo itu sejak tadi adalah ponselnya Sheylla. Jelas sekali ada perang yang harus gue hadapi di sini.

Selama beberapa menit kami masih sama-sama canggung. Mereka hanya mengobrol berempat, dan kami pun hanya mengobrol bertiga. Sesekali Sheylla ikut tertawa dengan obrolan mereka, sesekali tertawa dengan bercandaan kami.

Lalu suasana berubah sesaat ketika Bokap dan Nyokapnya Sheylla datang. Mereka membawa pizza untuk kami semua. Spontan kami langsung memberi salam pada Bokap dan Nyokapnya sambil mengobrol sebentar. Ketika mereka meninggalkan kami, suasana kembali canggung.

                ‘Ayo nih dimakan aja, jangan malu-malu,’ ucap Sheylla kepada kami semua.

                ‘Iya, La. Gue belom laper,’ jawab Riko jual mahal. Padahal jika dia makan di rumah persediaan nasi langsung lenyap.

                ‘Huh,’ Sheylla menjawab dengan nada dan ekspresi sarkasme.

               ‘Kalo kita mah sikat aja ya gak jaim haha sorry ya kalo kita malu-maluin,’ ujar cewe yang tadi bertanya pada kami. Nampaknya dia yang paling suka berbicara di antara mereka.

Saat ini, meskipun gue lapar, gue sangat tidak nafsu makan. Rasa lapar ini seolah sudah terpuaskan dengan kehadiran cowo itu. Gue semakin sering melihat ke ponsel, pura-pura sedang melakukan sesuatu, padahal hanya berusaha ‘membunuh’ rasa kesal. Ketika suatu kali gue melirik ke arah cowo itu, Sheylla menawarkan pizza yang dia pegang pada cowo itu. Gue tidak bisa menjelaskan dengan kata apapun perasaan gue saat itu.
Dengan cepat gue langsung mengetik pesan singkat di ponsel gue, yang kemudian gue perlihatkan kepada Mira. Meskipun kami duduk sebelahan, tapi membicarakan orang lain yang hanya berjarak beberapa meter bukanlah hal yang sopan.

                Gila. Itu cowo gue rasa ada sesuatu deh. Gak mungkin kalo gak ada apa-apa tapi daritadi minjem hape Sheylla, duduk sebelahan, sampe ditawarin pizza secara personal. Gue harus tau ada apa sebenernya.

Itulah yang gue tulis dan perlihatkan pada Mira. Dan dia hanya menjawab, ‘Iya, emang kelihatan jelas sih, Feb.’

Selama sekitar dua puluh menit kami berdelapan berada dalam suasana canggung. Tidak secara nyata berkomunikasi, hanya melalui curi-curi pandang, gerak-gerik tubuh, maupun aura diri masing-masing. Kami semua tidak benar-benar diam. Kami saling menyapa dalam ‘batas’ dan berbicara dalam ‘kesenjangan’. Hal yang hanya bisa dilakukan ketika masing-masing pribadi saling menjaga image.

Akhirnya dengan alibi sudah ditelepon orangtua masing-masing, mereka berempat memutuskan untuk pulang, meskipun gue sendiri tahu jika mereka baru saja tiba di sini. Ketika hendak pulang, cewe yang sejak tadi aktif berbicara pun mewakili teman-temannya untuk berpamitan ke kami bertiga dengan nada yang ramah.
   
 ‘Kita pulang dulu ya, bye.’
            
            ‘Iya, ati-ati ya,’ jawab kami bertiga, karena tidak tahu harus merespon seperti apa.

Hal yang tidak gue duga terjadi beberapa saat setelah cewe-cewe itu berpamitan. Cowo asing itu menghampiri kami bertiga dan menyalami kami satu persatu sambil berpamitan. Ketika dia menyalami tangan gue, gue hanya bisa pasrah. Cowo inilah yang harus gue hadapi secara ‘sehat’. Entah usaha dan perjuangan macam apa yang selama ini sudah dia lakukan. Perjuangan yang didukung oleh ketersediaan banyak ruang dan waktu. Satu hal yang pasti, dia tidak hanya sendiri karena masih ada gue di sini yang akan terus bertahan. Entah dia sudah tahu atau belum tentang siapa gue.

Jatuh cinta tidak pernah sesakit ini. Ketika berjalan terus seorang diri, kita akan jatuh dalam kesendirian. Jatuh karena lelah berjalan terus tanpa siapapun menemani.  Tanpa seorang pun yang memberi warna dan harapan. Lalu hal yang paling menyenangkan datang ketika menyadari orang yang kita sayangi ternyata juga jatuh tersungkur di samping kita, hingga kini hati kita tidak lagi sendiri dalam keterpurukan. Ia berbaring dan memberi secercah harapan pada hati yang rapuh ini. Dengan caranya yang indah dan memesona, keberadaannya telah menghapus segala rasa sakit akibat jatuhnya raga ini. Namun, ketika tiba-tiba seseorang datang dan mengulurkan tangannya pada orang yang kita sayangi untuk membantunya kembali berdiri tegar, apa yang dapat kita lakukan?



Sesaat Sheylla mengantar teman-temannya pulang sampai ke pagar rumahnya, termasuk cowo itu. Entah apa yang mereka lakukan sebelum berpisah. Hanya sekedar mengucap, ‘Daahh,’ ‘Byee,’ melambaikan tangan, atau mungkin memberi sebuah kecupan di keningnya. Gue tidak sanggup membayangkannya. Sementara Sheylla belum kembali, gue segera mengatakan apa yang sejak tadi ingin gue katakan pada Mira dan Riko, ‘Jadi itu tadi manusianya? Gue udah ngerasa ada yang gak beres dari awal kita ketemu mereka. Gak mungkin kan kalo gak ada apa-apa duduk sebelahan, minjem hape terus, sampe nawarin pizzanya langsung? Di antara temen-temen cewe kenapa bisa ada satu cowo? Kalo temen cowo yang dateng gak cuma satu mungkin gue gak akan sekesel ini.’

Mungkin saat ini gue telah menjadi pribadi yang menyebalkan. Gue telah menjadi seorang pribadi yang egois dan mau menang sendiri, padahal gue tidak punya hak apa-apa. Gue sudah dikuasai oleh ambisi. Tapi, apa yang salah dari orang yang terlalu dalam jatuh  cinta pada orang lain?

Sekembalinya Sheylla duduk bersama kami, gue berusaha melupakan sejenak apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. Ini adalah saat-saat yang tidak boleh gue sia-siakan hanya dengan menahan rasa kesal. Gue harus menjadi pribadi yang menyenangkan dan tidak merusak suasana. Berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

               ‘Mereka tadi dateng jam berapa?’ tanya Riko membuka percakapan.

               ‘Baru sih, jam delapan lewat kayaknya,’ jawab sang tuan rumah.

               ‘Berarti baru sebentar dong. Jadi gak enak gue,’ jawab Riko, bersikap sok tidak enak. Padahal dalam hati sangat senang karena sekarang bisa makan sepuasnya tanpa perlu jaim.

             ‘Jadi, itu tadi orangnya?’ tanya Riko to the point. Gue tahu akan menuju ke arah mana pembicaraan ini. Untuk berjaga-jaga, gue pura-pura mengutak-atik ponsel gue.

                ‘Orang apaan?’ jawab Sheylla dengan ekspresi ‘apa sih?’ yang sangat ketahuan dibuat-buat.

                ‘Ya itu tadi orangnya kan, yang cowo,’ lanjut Riko. Gue masih berpura-pura sibuk dengan ponsel gue.

                ‘Orang apaan? Cowo apaan?’

                ‘Itukan cowo yang pernah lo ceritain ke kita.’

                ‘Cerita apaan?’ ucap Sheylla masih berpura-pura. Sheylla tidak pernah punya bakat berbohong.

                ‘YANG WAKTU ITU LO CERITA ADA COWO LAGI DEKETIN LO??!!&*^&%##@~’ jawab Riko yang sudah gondok.

                ‘Oooohhhhhhhh……………………….’

                ‘Oh doang? Iya apa nggak?

                ‘Hmm… Iya.’

                ‘Jawab iya aja susah banget daritadi.’

                ‘Hehe. Hehehe. Heheheheh,’ jawab Sheylla canggung.

Saat itu juga, jika memungkinkan, gue sangat ingin membanting ponsel gue.

              ‘Udah berapa lama emangnya?’ tanya Riko semakin penasaran. Tidak hanya Riko yang penasaran.

               ‘Dari kelas sepuluh sih sebenernya.’

               ‘Berarti lo udah PHP-in dia lumayan lama ya.’

               ‘Temen-temen gue juga bilang gitu kok.’

Dari kelas sepuluh. Gigih juga cowo itu. Berarti udah beragam cara yang dia pake supaya bisa deket
sama Sheylla.
               
                ‘Emang lo nungguin apa lagi sih?’

                ‘Nunggu pengumuman kelulusan.’

             ‘Yailah penting amat sih,’ jawab Riko, yang sepertinya tidak puas dengan jawaban Sheylla. Mungkin dia ingin mendengar jawaban dramatis layaknya di sinetron-sinetron, seperti, ‘Gue nunggu dia cerai dari isteri pertamanya yang ternyata udah punya selingkuhan di Pakistan.’

               ‘Kalo cewe kan butuh banyak pertimbangan.’

               ‘Jangan kelamaan mikir juga.’

Selain apa yang sudah dia katakan, tidak ada yang gue tahu tentang cowo itu. Entah mereka sekelas atau tidak. Entah berasal dari keluarga seperti apa cowo itu. Entah hal apa yang sama-sama dia dan Sheylla sukai. Entah sudah berapa kali mereka pergi bersama. Entah orangnya seperti apa. Satu hal yang gue tahu dengan jelas: cowo itu gigih. Ternyata selama ini gue sudah punya pesaing diam-diam.

Setelah obrolan itu, kami membahas banyak hal sampai lupa waktu. Membahas cerita lama kami di SD dulu, membahas teman sekolah kami masing-masing yang aneh, membahas tentang bagaimana kami ketika kuliah nanti, dan sebagainya. Gue ingat beberapa di antaranya, tapi selebihnya berlalu begitu saja di ingatan gue. Hal yang mungkin bisa gue syukuri adalah kebersamaan kami yang sudah lama tidak berkumpul. Tawa kami semua saat ini membuat gue bahagia. Tawa para sahabat gue. Tawa orang yang spesial di mata gue. Momen yang selalu membuat kami lupa waktu, sama seperti hari ini.

Jam sudah menunjukkan pukul 00.28 ketika akhirnya Mira mengajak gue dan Riko untuk pulang.

                ‘Pulang yuk. Nyokap gue udah nanyain nih. Nanti gue diomelin deh.’

                ‘Eh iya, udah jam segini aja. Gak berasa kalo sama lo semua,’ balas Riko.

                ‘Yaudah kita pamit dulu ke Bokap Nyokapnya Sheylla,’ ajak gue sambil bangkit dari kursi.

    ‘Makasih ya udah pada dateng. Makasih seharian udah gak ngucapin ulang tahun ke gue. Makasih juga udah nemenin gue begadang. Gue kan nanti jam dua mau berangkat ke Palu,’ ujar Sheylla ketika kami hendak berpamitan ke orang tuanya. Dia harus pergi ke Palu karena ada anggota keluarga Nyokapnya yang meninggal dunia.


‘Iya sama-sama. Lo belom packing segala emangnya? Terus lo gak tidur dulu gitu?’ tanya gue layaknya seorang wartawan.

‘Satu jam juga keburu kok packingnya, kan dibantuin Nyokap gue haha. Gue nanti aja tidurnya di pesawat.’

 ‘Oh gitu. Yaudah ya safe flight. Kalo bisa jangan lupa oleh-oleh haha. Kita pulang ya,’ lanjut gue.

 ‘Doain aja gue inget. Makasih banyak ya,’ ujar Sheylla sambil melambaikan tangannya ketika kami berpisah di depan rumahnya. 

Di perjalanan pulang, gue tidak berkata apapun pada Mira dan Riko. Mungkin gue sedang merasakan sejuknya udara malam. Mungkin juga gue sedang menikmati jalan yang lengang. Atau mungkin gue sedang termenung dalam pikiran gue sendiri.

Awalnya gue menyangka bahwa ide gue hari ini akan berjalan sangat lancar dan sempurna, tanpa kurang satu hal apapun. Namun ternyata teman-temannya juga datang memberi kejutan, bahkan tiba lebih dulu dibanding kami. Gue juga teringat pada kue blackforest yang dibawa teman-temannya. Ukurannya sedikit lebih besar dibanding kue tiramisu yang kami bawa.
Dan hal yang paling mengusik benak gue adalah kehadiran cowo asing tadi yang bahkan tidak gue tahu namanya. Teman? Pasti lebih dari itu. Gebetan? Kemungkinan besar. Pacar? Sepertinya belum. Gue bahkan tidak tahu kenapa gue bisa bilang belum.

Sesampainya kami di depan rumah Mira, gue baru bisa menghilangkan segala pikiran tersebut. Mira membuka pintu rumahnya dengan kunci cadangan yang ada di dompetnya. Sebelum masuk, Mira mengucapkan terima kasih kepada gue dan Riko.

         ‘Harusnya gue yang bilang makasih, lo udah mau bantuin gue,’ balas gue pada Mira.

          ‘Yang penting kita tetep bisa ngumpul lagi kayak dulu.’

Kemudian gue dan Riko pulang, meninggalkan rumah Mira yang kini sudah kembali tertutup rapat. Riko mengendarai motornya agar bisa beriringan dengan gue, yang kembali sibuk dengan pikiran gue sendiri. Di sebuah pertigaan dekat rumah Mira yang sudah hampir ditutup portal, Riko bertanya ke gue,

            ‘Lo kenapa, Feb? Lesu banget.’

            ‘Rik, menurut lo yang tadi di rumah Sheylla gimana?’ jawab gue, langsung ke topik utama.

            ‘Yang tadi? Si cowo itu maksud lo?’

            ‘Iya, kayaknya mereka udah deket juga.’

            ‘Kalo menurut gue sih, kalo Sheylla gak mau, dia pasti udah nolak dari awal. Dia kan selalu begitu. Kayak gak tau dia aja, lo.’

             ‘Jadi menurut lo, dia ngasih peluang ke cowo itu?’

           ‘Kalo kita liat sikon tadi sih, begitu. Bukan salah Sheylla juga kalo dia kasih harapan ke cowo itu. Tapi mau sampe kapan lo gak bisa move on dari dia, Feb?’

Gue tidak menjawab. Meskipun Riko adalah sahabat gue, bukan berarti gue ingin mendengar jawaban yang memihak ke gue, jawaban yang mungkin ketika berpihak pada gue, justru jadi tidak objektif. Gue lebih menginginkan jawaban yang memang benar adanya. Jawaban yang mungkin akan membuat gue sedikit kesal. Nyatanya Riko tetap jujur mengatakan yang sebenarnya.

Gue dan Riko berpisah di sebuah perempatan jalan, mengambil jalan kami masing-masing. Sebuah lambaian tangan mengakhiri perjumpaan kami hari ini, sambil berharap di hari yang lain dapat kembali bertemu. Gue menuju ke rumah dengan beragam hal dalam kepala yang memaksa untuk gue pikirkan saat itu juga. Gue tidak tahu apakah Nyokap gue masih terjaga atau tidak. Biasanya, ketika gue pulang sampai malam, Nyokap akan menunggu kepulangan gue.  Gue tidak ingin langsung tidur sesampainya di rumah nanti. Meskipun sekarang sudah lewat tengah malam, tapi entah mengapa gue belum mengantuk seperti biasanya.

Nyokap menawarkan gue satu porsi siomay yang tadi dibelinya begitu gue selesai memarkirkan motor gue. Karena tadi ada banyak ‘kejutan’, gue jadi lupa mengisi perut. Gue mengaktifkan televisi setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi. Ketika gue melihat televisi, re-run dari program Breakout sedikit mengubah mood gue. Saat itu penampilan John Mayer dengan gitarnya di video clip ‘I Don’t Need No Doctor’ sedikit memperbaiki suasana hati gue. Gue memakan siomay pemberian Nyokap sambil berharap setelah ini tidak ada hal buruk yang datang. Dan ketika video clip The Rain berjudul ‘Terlatih Patah Hati’ muncul beberapa menit kemudian, mood gue kembali hancur.

Untuk menghindari semakin hancurnya mood gue setelah ini dengan munculnya video clip serupa, gue pun mengganti saluran televisi. Pilihan jatuh pada siaran pertandingan sepak bola antara Dynamo Kyiv melawan Fiorentina. Ketika itu babak pertama baru saja dimulai. Baru beberapa menit, gue sudah mulai merasa bosan. Banyak peluang yang terbuang sia-sia dan tidak berbuah gol. Gue memutuskan untuk membuka Instagram.

Ada beberapa gambar menarik yang akhirnya gue like. Suasana hati gue berangsur membaik. Ada beberapa teman yang memberi like juga ke foto gue. Gue rasa sebelum tidur tidak akan ada hal yang membuat gue epilepsi atau semacamnya. Gue membuka tab home dan me-refreshnya. Sebuah foto yang tidak pernah gue duga muncul dan merusak segala harapan gue. Dengan caption ‘All I Wanna Say is Thank You’, foto itu menampilkan Sheylla yang sedang meniup lilin ulang tahun. Sebenarnya tidak ada yang salah dari adegan meniup lilin di sebuah kue. Hal yang membuat gue sangat kecewa adalah orang yang memegang kue tersebut. Orang itu adalah cowo asing tadi. Ternyata sebelum kami tiba, ada adegan yang tidak pernah ingin gue lihat, dan adegan tersebut berkesan bagi Sheylla. Di foto itu hanya ada mereka berdua, dengan ekspresi bahagia dari wajah si cowo. Gue tahu, jika Sheylla hanya mengunggah foto-foto yang benar-benar bermakna baginya. Dan foto dia yang meniup lilin di kue yang kami beri, tidak ada di sana.

Entah sudah sejauh mana hubungan Sheylla dengan cowo itu. Entah mereka sekelas atau tidak. Entah seberapa sering mereka pulang bareng, jalan bareng, atau teleponan bareng. Entah seberapa sering dia main ke rumah Sheylla dan seberapa sering mereka bertukar kabar lewat BBM sepanjang saat. Entah hal apalagi yang terjadi sebelum kedatangan kami ke rumahnya tadi. Meskipun hal yang terburuk belum terjadi, gue merasa cepat atau lambat semua akan terjadi. Ketika hal itu terjadi, mungkin gue tidak punya hak apa-apa untuk mencegahnya.

Gue sempat berpikir, apakah semua yang gue lakukan hari ini sia-sia? Memberinya kado, mengajak sahabat-sahabat terbaiknya untuk membuat kejutan, memberikan momen tiup lilin di hari ulang tahunnya, hingga mengobrol seru sampai lupa waktu. Pada akhirnya semua usaha gue mungkin tidak ada artinya. Semua yang gue lakukan mungkin terkesan biasa saja di matanya. Padahal, bagi gue itu semua adalah kebahagiaan dan kepuasan yang tidak ternilai.

Tidak tahu dengan cara dan kata apa gue harus mengungkapkannya. Di saat kekuatan kesabaran dan tekad yang sudah ada sejak lama, harus kalah dengan dia yang mempunyai kesempatan waktu dan tempat lebih banyak. Lalu sekarang, saat semuanya sudah terlanjur seperti ini, harus bertahan atau menyerah?
                        
Gue memutuskan untuk tidur setelah selesai makan. Gue mematikan televisi ketika babak kedua pertandingan itu mencapai menit tujuh puluh. Gue berharap di sisa waktu yang ada, kedua tim tidak bermain seperti babak pertama, bermain dengan menciptakan banyak peluang, tapi tidak ada yang mampu menjadi gol, karena semua peluang hanya terbuang sia-sia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Nostalgia Volunteer Java Jazz Festival 2016

Gue dan 'My Blog-graphy'

Ketika Kau LDR