Sepatu Biru Bikin Nyaru

Momen libur kuliah adalah momen yang cukup membosankan. Waktu yang hampir 2,5 bulan itu awalnya memang terlihat menyenangkan. Segala wacana dan rencana sudah dipersiapkan dengan matang agar bayang-bayang mata kuliah bisa segera dihapuskan dari pikiran. Namun, ketika semua kegiatan yang direncanakan sudah selesai direalisasikan, datanglah kejenuhan tingkat dewa yang tidak bisa dihindari. Biasanya mahasiswa akan mencari pekerjaan magang lepas supaya tetap mendapatkan pemasukan selama liburan. Di pertengahan tahun 2016, gue bersama dua orang teman, Bram dan Arga, langsung mencari info magang tepat setelah ujian akhir semester selesai. Gue, yang memang belum punya pengalaman kerja apa-apa, hanya pernah jadi volunteer sekali di sebuah acara musik, tetap pede untuk bekerja di momen liburan kali ini. Gue gak rela ketika masuk kuliah selesai liburan ini daya ingat gue tumpul begitu saja karena kelamaan makan tidur di rumah.

                Kami bertiga langsung aktif mencari informasi-informasi seputar magang di bulan ini. Kami mencari di internet, di grup media sosial, dan bertanya ke teman-teman yang lain. Kami tentu tidak mencari di koran. Cara ini jelas sangat usang dan jadul karena sudah digunakan oleh sejuta umat. Persentase keberhasilannya pun sangat kecil. Kabar baik datang ketika Bram memberitahu gue dan Arga tentang sebuah lowongan.

                ‘Eh gue dapet lowongan nih. Acara pameran hape gitu’, tulis Bram di multi chat kami.
                ‘Seriusan nih? Dimana? Kriterianya gimana? Gajinya?’, tanya gue dengan membabi buta.
                ‘Serius gue. Interviewnya di daerah Pondok Labu nih. Gajinya lima jutaan’.
                ‘Wihhh boleh tuh. Diutamakan mahasiswa gak?’ Arga ikut angkat bicara.
                ‘Iya. Tapi kayaknya yang daftar tiga ribuan orang deh’.
                ‘CEKEK GUE SEKARANG DAHHH BIAR LO PUASS’, jawab gue, gondok.

                Kami pun akhirnya kembali mencari informasi magang di tempat lain. Semua cara sudah kami lakukan. Berhari-hari kami tidak mendapatkan hasil. Kami hampir frustasi. Kami hampir stress. Kami jomblo. Ternyata mencari pekerjaan tidak semudah yang gue bayangkan. Hampir setiap saat gue menatap layar hape gue dengan harap-harap cemas. Kadang gue sempat berfikir untuk menyerah mencari magang. Tidak ada harapan lagi buat gue. Tapi, jagoan selalu kalah duluan kan?
Senyum gue mengembang lebar ketika melihat pesan dari Arga di suatu sore.

                ‘Guyss, gue dapet info dari grup SMP gue nih ada lowongan. Pameran sepatu gitu. Interviewnya lusa di daerah Kelapa Gading. Gajinya **** jutaan. Gimana pada mau gak?’
Tanpa banyak omong, gue pun langsung menjawab, ‘MAU!!’

                Setelah proses interview berhasil kami lewati dengan baik, tibalah hari pertama kami bekerja. Kami bertiga ditempatkan di sebuah mall di daerah Depok. Lokasi stand pameran kami cukup strategis karena dekat dengan pintu utama mall dan dikelilingi outlet-outlet merk ternama. Gue berharap hal ini akan berdampak baik buat kami. Perjalanan gue di hari pertama gue lalui dengan hati riang gembira. 

                Berhubung di dekat rumah gue dan di Depok ada stasiun kereta api, maka gue memutuskan untuk naik kereta dibanding membawa kendaraan pribadi. Alasannya cukup jelas. Jarak rumah gue ke Depok dapat ditempuh dalam waktu 15 sampai 20 menit dengan naik kereta. Tarif kereta pun jauh lebih murah dibanding ketika gue isi bensin sendiri. Gue juga tidak perlu berpanas-panasan di jalan ataupun basah kuyup ketika hujan turun. Lagipula, kereta tidak akan mungkin terjebak macet. Kendaraan macam apa yang gagah berani menantang kereta? 

Gue tiba di mall satu setengah jam sebelum jam operasional mall dimulai. Ketika interview kami diberi pesan untuk datang lebih awal pada hari pertama karena akan dibriefing oleh supervisor kami. Setibanya gue di lokasi stand, ternyata supervisor kami sudah tiba. Tak lama, Arga pun tiba. Setelah berkenalan dengan supervisor kami, namanya Kak Mario, tugas kami adalah memeriksa persediaan barang yang ada. Berapa jumlah untuk setiap tipe, size dan warna apa saja yang ada, serta di rak sebelah mana letak barang tersebut berada. Proses ini memakan waktu cukup lama karena jumlah barang di stand kami cukup banyak. Tidak hanya sepatu, stand kami juga menjual tas, dompet, jam, dan gelang juga. Oh ya, semua produk yang kami jual adalah produk untuk wanita. Tepat setelah proses pemeriksaan selesai, Bram datang dengan napas terengah-engah. Ternyata dia bangun kesiangan.

  Hari-hari awal gue bekerja, belum ada hambatan atau gangguan berarti yang gue alami. Semua (masih) berjalan dengan sebagaimana mestinya. Tapi, lama kelamaan gue merasa jenuh dan lelah. Jam kerja kami yang tidak menggunakan sistem shift mengharuskan kami bekerja 12 jam penuh dari sesi opening sampai sesi closing. Selain itu, gue merasakan rasa jenuh yang tidak pernah gue bayangkan sebelumnya. Selama 12 jam, selama hampir sebulan penuh, gue hanya bisa mengeluarkan kalimat-kalimat yang sama. Biasanya percakapan gue dengan setiap calon pembeli akan seperti ini.

‘Mas yang ini harganya berapa ya?’
‘Harganya ada di bawah sepatunya, ibu.’
‘Boleh dicobain kan, mas?’
‘Iya boleh, ibu. Silakan.’
‘Wah yang ini kekecilan, mas. Saya mau coba yang satu size diatas ini deh.’
‘Iya sebentar ya, ibu. Saya check dulu barangnya.’
(2 menit kemudian)
‘Ini, ibu, sepatunya. Silakan sekalian dicoba di depan cermin aja, bu’
‘Oh iya, mas. Bisa bayar pake debit, kan?’
‘Iya bisa, ibu.’
‘Kayaknya yang ini pas deh. Saya ambil yang ini deh, mas.’
‘Iya, ibu. Bisa langsung ke kasir aja ya, bu.’
Selama hampir sebulan gue merasa sebagai mesin penjawab telepon yang bisa bernapas.
            
                Jika semua calon pembeli yang gue temui bersikap seperti ibu tadi, mungkin kesabaran gue tidak akan teruji serius. Masalahnya, tidak semua calon pembeli memiliki sikap, pola pikir, dan kalimat ‘pemanis’ yang sama. Pernah suatu ketika gue melayani calon pembeli yang mencoba tiga model sepatu, masing-masing model dua size ukuran. Itu artinya dia mencoba ENAM BUAH SEPATU. Ditambah lagi pembawaannya yang kurang ramah ke gue. Bukan berarti gue mengharapkan calon pembeli untuk ramah kepada gue sebagai seorang pramuniaga. Namun sebagai sesama manusia sederajat, sudah selayaknya kita menghargai siapapun tanpa memandang siapa mereka. Ujung-ujungnya, si ibu yang mencoba ENAM BUAH SEPATU itu dengan tanpa rasa bersalah bilang ke gue, ‘Sebentar ya, mas. Saya mau liat-liat toko lain dulu.’ Gue hanya bisa menjawab, ‘Oh iya, ibu, gapapa.’ Detik itu rasanya gue pengen langsung makan orang. 

                 Jika menghadapi orang seperti itu, gue merasa gondok bukan karena ia tidak jadi membeli, tetapi karena ia mencoba tiga model sepatu yang masing-masing model mencoba dua size. Logikanya ketika seseorang sudah sampai mencoba lebih dari satu model sepatu, itu artinya keinginan dia untuk membeli sangat besar. Tapi entah bagaimana secara tiba-tiba keinginan tersebut hilang dalam sekejap. Seumur-umur gue mau beli sepatu, ketika gue udah sampe tahap mencoba langsung sepatunya, gue pasti membeli sepatu itu. Kalau memang kurang cocok dengan model dan harganya, gue tidak mungkin sampai mau mencoba sepatu itu apalagi sampai minta size lain selain barang display tersebut.

                Dengan bekerja sebagai pramuniaga selama hampir satu bulan, gue jadi memahami trik-trik orang-orang yang tidak jadi membeli sepatu yang sudah mereka coba kenakan. Selain trik ibu yang mencoba ENAM BUAH SEPATU, ada lagi trik yang hampir selalu digunakan para calon pembeli produk sepatu gue. Biasanya, ketika seseorang mencoba sepatu yang ukurannya tidak pas dengan kakinya, ia akan meminta size sepatu yang lebih besar atau lebih kecil satu nomor dari size sepatu yang sudah ia coba. Kalimat yang sering gue hadapi adalah,

                ‘Mas ini nomer 36 nya kesempitan di kaki saya. Coba nomer 37-nya deh.’
                ‘Iya ini, bu, nomer 37-nya.’
                ‘Wah ini kok 37-nya kegedean banget ya. Gimana ini mas, 36 kekecilan, tapi 37 kegedean.’
Biasanya, ketika menghadapi calon pembeli dengan kalimat seperti itu, gue hanya bisa tersenyum sambil bilang, ‘Hehe-he-he-he-eh-he-he’eh-he-he-heheh.’

              Ada lagi trik seorang pembeli ketika tidak jadi membeli sepatu yang dicobanya. Trik ini biasanya dilakukan oleh remaja dengan nada bicara gawl-gurih-manis yang kemungkinan besar sukses menaklukkan gue dalam sekejap.

                ‘Mas, saya mau coba size 38 yang model ini dong.’
                ‘Iya ini kak yang size 38-nya,’ ujar gue setelah mengambil kotak sepatu di rak.
              ‘Wah pas banget nih. Modelnya juga bagus. Simpen dulu ya, mas, 38-nya. Saya mau ke ATM dulu. Nanti saya ke sini lagi.’
                ‘Oh, i-iiya kak.’
Sampai gue selesai magang selama hampir sebulan, cewe itu gak pernah nongol lagi ke stand gue.

                Jam kerja yang cukup panjang membuat gue jadi gampang lapar. Biasanya, ketika makan di kantin karyawan, gue makan dengan konsep Portugal. Porsi tukang gali. Gue sering nambah nasi sampai dua kali saking kelaparannya. Ibu penjualnya sampai bingung, kuli panggul macam apa yang kerjanya di dalam mall. Jam kerja yang cukup panjang ini tidak hanya membuat gue gampang lapar. Badan gue pun gampang pegal karna kurang tidur dalam sehari. Kadang jika stand sedang tidak terlalu ramai, gue akan ijin ke toilet hanya untuk tidur di dalem WC-nya. Serius. Tidak mungkin gue tidur leha-leha di stand sedangkan supervisor gue ada di stand juga. Terkadang gue bisa tidur selama 20 sampai 30 menit. Hal inilah yang menimbulkan gosip diantara Kak Mario beserta Bram dan Arga. ‘Itu kok si Febry lama banget ya bokernya?’

                Untuk menghibur diri dari kejenuhan, gue, Arga, dan Bram sering mengamati perempuan-perempuan cantik yang hanya sekedar melewati stand kami. Malah terkadang Kak Mario ikut-ikutan ngomongin perempuan mana yang sangat ideal dijadikan calon isteri di masa depan. Kami akan sangat senang ketika ada perempuan cantik yang sudah kami lihat dari jauh dan akhirnya mampir ke stand kami. Entah mengapa saat itu juga kami berempat sering reflek melayani perempuan cantik itu secara berbarengan. Kompak sekali. Kami bahkan pernah secara kompak menjawab pertanyaan seorang perempuan cantik yang menanyakan size sebuah sepatu.

                ‘Mas, kalo yang model ini ada size 39-nya?’
                ‘ADA KAK,’ jawab kami berempat, kompak.

Kejadian yang sering membuat kami gigit jari adalah ketika seorang perempuan cantik yang sudah sudi mampir ke stand kami, melihat-lihat produk kami, mencoba beberapa model, namun akhirnya tidak jadi membeli dengan beragam alasan. Tidak hanya satu atau dua perempuan cantik yang melakukan skenario ini kepada kami, tetapi BANYAK. Dengan bodohnya, mungkin karena kecantikan seorang perempuan adalah titik lemah kami, berulang kali kami diperdayai oleh kalimat-kalimat cantik mereka. Perempuan-perempuan inilah yang kemudian kami masukkan ke dalam kategori ‘PHP of the day’, tentu dengan beberapa kesepakatan di antara kami berempat untuk menentukan layak tidaknya seorang perempuan mantan-calon-pembeli masuk ke kategori ini. Setiap hari selama sebulan kami menentukan perempuan-perempuan yang menjadi ‘PHP of the day’. Jika mereka semua dikumpulkan, kami sudah bisa mengadakan ajang beauty pageant sendiri.

                Kecantikan seorang calon pembeli pernah membuat Kak Mario gelap mata. Dengan gagah dan cekatan, Kak Mario menghampiri Arga yang saat itu sedang melayani seorang perempuan cantik. Tatapan mata dan gerakan alis Kak Mario sudah cukup bagi Arga untuk beranjak dari hadapan perempuan tersebut dan pura-pura merapikan persediaan barang di rak. Gue dan Bram yang kebetulan melihat pergerakan agresif tersebut hanya bisa menahan tawa. Perempuan tersebut sedang mencoba sebuah flat shoes biru dengan size 38. Tapi ternyata sepatu itu tidak muat di kakinya dan dia meminta size 39. Kak Mario pun mengambil sepatu yang dimaksud dan segera memberikannya kepada perempuan itu. Setelah dirasa sudah cocok dan puas dengan sepatu tersebut, perempuan itu berkata, ‘Yaudah yang ini jadi ya, mas. Tapi saya liat-liat yang lain juga.’

                Kak Mario pun mengiyakan dan segera memasukkan sepatu itu ke kardusnya. Perempuan itu ternyata memilih satu flat shoes lagi, kali ini berwarna coklat. Tidak hanya sampai disitu, perempuan cantik itu juga membeli dua tas dan satu jam tangan. Menurut perkiraan gue, harga keseluruhan barang yang dia beli sekitar tiga jutaan. Setelah semua barang tersebut dibungkus, perempuan itu berkata kepada Kak Mario, ‘Sebentar ya, mas. Saya ambil uang di Mama saya dulu di lantai 2 lagi makan.’

                Sontak, Kak Mario menjawab, ‘I-iiya kak.’ Lagi-lagi dia gagap karena kecantikan perempuan itu.

Setelah perempuan itu pergi, Kak Mario langsung tersenyum puas dan berkata,
                ‘Nah, kan. Rejeki orang baik mah gak kemana.’
                ‘Gile tu cewek, diborong semuanya,’ ujar Bram.
                ‘Udah cakep, tajir pula. Takis kak,’ kata Arga, menambahkan.
              ‘Atau nanti gue pura-pura aja laptop kita tiba-tiba error dan gak bisa proses pembayarannya, jadi gue bisa minta nomer hape dia hahahah,’ Kak Mario mulai berkhayal ngaco. 

Menit demi menit berlalu. Satu jam. Dua jam. Perempuan itu masih tak kunjung kembali. Kak Mario mulai resah. Ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada perempuan itu. Jangan-jangan dia dicopet. Jangan-jangan dia diculik. Atau jangan-jangan Mamanya kena serangan jantung dan langsung dibawa ke rumah sakit. Skenario-skenario aneh mulai muncul di benak Kak Mario. Kami bertiga cuma bisa pasrah. Cinta memang bisa membuat orang menjadi gila. Bahkan, pada orang yang belum dikenal sekalipun.

                Hari itu, sampai kami closing dan menutup stand kami, perempuan itu tidak datang lagi. Semuanya sudah jelas. Kami ditipu mentah-mentah. Satu lagi perempuan cantik masuk dalam kategori ‘PHP of the day’. Mungkin dia seharusnya masuk kategori ‘PHP of the month’. Semua barang yang hendak dibeli perempuan tadi kami keluarkan dari plastik belanjaan dan kami kembalikan ke rak untuk disimpan kembali. 

‘Ahh yaudah gue balik ke Kak Sofie aja,” ujar Kak Mario saat kami hendak menuju pintu keluar mall. Kak Sofie adalah seorang pramuniaga di outlet yang berada tepat di depan stand kami. Lebih tepatnya, stand kami yang berada di depan outletnya. Beberapa hari setelah gue mulai bekerja dengan Kak Mario, ia dengan berani (dan nekad) menghampiri Kak Sofie ketika stand kami dan outlet dia sedang sepi dari pengunjung. Kak Mario basa-basi sebentar dan langsung mengajak bertukar nomor hp. Dengan wajah bahagia Kak Mario kembali ke stand dan mulai bertukar pesan dengan Kak Sofie.

                Dengan jarak umur yang tidak terlalu jauh, kami dan Kak Mario seperti junior dan senior yang sedang sama-sama magang. Beberapa hal seperti selera humor yang cocok, antusias pada olahraga sepak bola, dan koneksi pertemanan menambah akrab hubungan kami bertiga dengan Kak Mario. Kak Mario yang mengambil jurusan akuntansi di sebuah perguruan tinggi swasta ternyata adalah teman seorang kakak kelas kami sewaktu di SMA. Dia juga banyak bercerita mengenai kuliahnya yang hendak memasuki semester tujuh. Hal-hal sepele semacam inilah yang menurut gue perlu diterapkan di semua tempat kerja untuk menunjukkan bahwa antara pegawai dan atasan tidak memiliki batas yang mutlak dan kaku. Seorang atasan dan pegawai, dengan latar belakang dan status apapun, merupakan sesama manusia yang sederajat dan sesama makhluk sosial.

                Seperti mall pada umumnya, mall tempat gue magang pun memutarkan lagu sepanjang hari di seluruh area mall. Mungkin musik yang diputar akan meningkatkan niat pengunjung untuk membeli barang di mall. Berhubung gue setiap hari berada di sana dari pagi hingga malam, maka gue pun akrab dengan lagu-lagu yang diputarkan sampai gue sendiri pun jenuh. Bahkan sampai hari terakhir gue bekerja pun lagu yang diputar selalu itu-itu saja. Di pagi hari ketika sedang menata barang-barang display, gue pun geram dan berkata pada Arga dan Bram, ‘Ini mall gak punya stock lagu lain apa?!’ Mungkin karena hari itu adalah hari terakhir gue bekerja, maka gue jadi lebih sensitif akan hal-hal sepele. Hari terakhir bekerja bisa berarti selamat tinggal pada rasa lelah dan selamat datang hibernasi di keesokan harinya. Hari terakhir bekerja juga bisa diartikan selamat tinggal Kak Mario dan selamat datang pundi-pundi Rupiah. 

                Malam harinya, seperti biasa, kami bertiga membantu Kak Mario closing dan merapikan barang-barang. Berhubung hari ini adalah hari terakhir maka closing akan lebih rumit dari hari biasanya. Persediaan barang yang tersisa di scan satu persatu di laptop perusahaan agar pihak kantor lebih mudah memeriksa barang apa saja yang tidak terjual dan dikembalikan ke gudang perusahaan. Sesuai ketentuan awal pada hari pertama, kami bertiga terlibat pada proses closing hanya sampai merapikan dan memeriksa persediaan barang-barang saja. Ketika hari pertama pun barang-barang yang hendak dijual sudah tertata rapi dan sudah di scan oleh Kak Mario dan Pak Tri, orang bagian gudang perusahaan yang juga mengantar barang-barang tambahan dari gudang perusahaan ke stand kami. Jadi di hari terakhir ini pun scanning semestinya berada di luar tanggung jawab kami bertiga. 

                ‘Lo kalo mau pada cabut duluan gapapa, makasih nih udah mau bantu-bantu disini sebulan,’ ujar Kak Mario setelah memberi amplop gaji kepada kami bertiga. Pak Tri sudah mulai memindahkan kardus-kardus sepatu yang sudah di-scan Kak Mario ke trolley barang untuk dibawa ke mobil box. Gue melihat ke arah Pak Tri sejenak. Rumahnya berada di daerah Tangerang sesuai dengan cerita yang pernah dia katakan beberapa hari yang lalu. Gudang perusahaan berada di daerah Kelapa Gading. Sedangkan stand kami berada di Depok. Jam menunjukkan hampir pukul sebelas. Dengan barang-barang yang sedemikian banyak, entah jam berapa Pak Tri akan tiba di rumahnya.  

                ‘I-iya nih Kak, sama-sama. Makasih juga, Kak,’ ujar kami bertiga, entah mengapa tiba-tiba canggung. Gue melihat Arga dan Bram dengan tatapan, ‘Ini kita beneran cabut sekarang? Gile itu barang masih banyak bener belom di-scan.’ 

                Arga dengan cepat memasukkan amplop tadi ke tasnya dan menuju ke salah satu rak barang dan mengeluarkannya dengan hati-hati. Gue dan Bram juga mengeluarkan barang-barang di rak lain dan meletakkannya di samping Kak Mario yang masih fokus scanning. Satu persatu kardus sepatu dari rak tadi di-scan kemudian diatur dengan rapi di trolley dan dibawa ke mobil box. Dengan kami bertiga yang turut membantu, closing hari ini bisa berjalan lebih cepat dari perkiraan Kak Mario. Setelah semua barang sudah dimasukkan ke mobil box, kami bersalaman dengan Kak Mario dan Pak Tri. Salam yang memiliki pesan untuk tidak saling melupakan jika suatu hari nanti kembali bertemu.

                Gue duduk bersandar di dalam kereta terakhir menuju Stasiun Manggarai. Arga dan Bram sudah pulang lebih dulu karena rumah mereka searah. Kereta saat itu sudah sangat sepi penumpang. Mungkin hanya ada sekitar lima orang di dalam gerbong yang sama dengan gue. Keadaan yang sepi ini membuat gue ingin memejamkan mata sejenak. Dengan suhu AC yang cukup dingin, memberi kesempatan bagi gue untuk mengingat kembali alasan dan tujuan gue untuk magang. Alasan gue magang adalah untuk mengisi waktu libur gue yang panjang, sedangkan mencari tambahan uang jajan menjadi tujuan yang biasa digunakan oleh mahasiswa magang seperti gue.

                Setelah proses magang ini selesai, gue memastikan lagi apa yang sudah gue lalui. Perjumpaan dengan banyak orang yang memiliki karakter yang berbeda, beragam jenis penolakan secara halus, proses manajemen sebuah tempat usaha, proses marketing dan upaya persuasi, pentingnya manajemen waktu dengan baik, menahan ego dan nafsu sesaat, menjaga komitmen dan kepercayaan, dan masih banyak hal lain yang gue dapatkan selama sebulan ini. Tentunya gue juga mendapatkan uang yang menjadi tujuan awal gue. Sebuah fakta yang gue sadari adalah uang dan materi bisa dicari dan hilang kapan saja, tapi pengalaman dan relasi adalah hal yang menetap dalam nurani dan memori sehingga bernilai lebih dari sekedar Rupiah. Gue tersenyum saat keluar dari gerbong kereta di stasiun tujuan, ketika menyadari bahwa gue telah mendapatkan lebih dari apa yang gue harapkan. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Nostalgia Volunteer Java Jazz Festival 2016

Gue dan 'My Blog-graphy'

Hidup Musik Indie Indonesia !!