Unrequited Love Story





Diambilnya buku-buku diatas meja belajar, bergegas menaruhnya di dalam tas ransel abu-abu yang selalu menemaninya sejak SMA. Kemeja kotak-kotak biru lengan panjang dan celana jeans hitam dipakainya dengan tergesa-gesa. Bahkan kemejanya belum sempat dikancing sehingga kaos putih dalamannya terlihat. Tak lupa dompet cokelat dan Blackberry hitam diambil dari dalam laci meja belajar. Terdiam sejenak, takut merasa ada yang terlupakan. Ia kembali mengeluarkan dompet dari dalam saku yang baru saja ia masukkan. Jera dengan pengalaman ditilang seminggu yang lalu, dirinya selalu memastikan membawa SIM dan STNK. Dilihatnya surat ijin mengemudi yang terdapat di dalam dompetnya.

                        Bara Mahesa.
                        Jakarta, 24 Desember 1996.

Itulah nama dan tanggal lahir yang tertera di surat tersebut. Setelah merasa semuanya sudah terbawa, dimasukkannya lagi dompet itu ke dalam saku. Segeralah ia setengah berlari keluar dari kamarnya membawa tas, sampai ia menyadari lupa membawa sepatu. Membuka lemari khusus sepatu, tanpa pikir panjang diambilnya Converse high kesayangannya. Dan kali ini benar-benar berharap tidak ada yang terlupa. 


Sampai di teras rumahnya, dengan cepat ia memakai sepatunya agar bisa langsung memanaskan mesin kuda hitamnya. Bukan kuda sungguhan. Itu adalah panggilan kesayangan untuk sepeda motor miliknya. Ah, ia lupa mengambil kunci motor. Berlarilah ia kembali ke kamar dan mengambil kunci yang dimaksud dari dalam lemari pakaiannya. Ditaruh di dalam sana dengan tujuan agar tidak terlupa ketika buru-buru. Nyatanya?


Kali ini tidak boleh ada yang terlupa. Sudah tidak ada waktu lagi karena kelasnya sebentar lagi akan dimulai. Hanya tersisa waktu kurang dari setengah jam sebelum Pak Kosasih berdiri di hadapannya untuk mengajar matematika. Begitulah perjuangannya setiap pagi. Sebelum harus berjuang menghadapi rumitnya serangkaian mata kuliah, ia harus berjuang menghadapi kebiasaan-kebiasaan buruk dalam dirinya yang membuang banyak waktu. Terlambat bangun pagi, kebiasaan mandi yang lama, penyakit amnesia akutnya, dan masih banyak lainnya. Tapi setidaknya episode pagi ini telah usai, pikirnya. Ia hanya sedang menikmati segarnya hembusan angin di pagi hari yang menerpa rambut di kepalanya, seolah ia sedang tidak memakai helm dalam perjalanannya menuju kampus.

 ‘AH IYA, GUE LUPA PAKE HELM!!’
 











  ~~~~~~~~~~~~~~~~ *** ~~~~~~~~~~~~~~~ *** ~~~~~~~~~~~~~~~

 

Inilah kehidupan Bara saat ini. Bara tengah kuliah dan mengambil jurusan Sastra Indonesia, karena kecintaannya pada buku sudah tumbuh sejak dia berumur 7 tahun. Ia menyukai sastra dalam apapun wujudnya. Pilihannya ini membuat Bara harus menyimpang dari jurusan alam yang dipelajarinya di SMA. Bara mempunyai impian untuk menjadi penulis profesional, mengikuti jejak idola-idolanya yaitu Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Sapardi Djoko Damono. Tak lupa sastrawan kondang Chairil Anwar.


Dalam upayanya untuk mewujudkan mimpi, Bara dihadapkan pada lembaran lama dalam hidupnya yang seolah terbuka kembali. Melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri yang dipandang banyak orang sebagai yang terbaik di Indonesia, Bara dipertemukan lagi dengan cinta pertamanya sewaktu di kelas 2 SMP. Hubungan yang sempat terjalin satu setengah tahun tersebut harus terhenti karena Bara dan pacarnya tidak mampu untuk menjalin hubungan jarak jauh. Bara memilih untuk melanjutkan di SMA negeri, sedangkan sang pacar memutuskan untuk masuk ke SMA swasta.


Namanya Gina. Gina Ariesta. Perempuan berambut panjang yang menyukai film beraneka genre. Dulu Gina sering mengajak Bara untuk menonton film bersama. Meskipun sebenarnya kurang berminat untuk itu, Bara tak kuasa untuk menolak ajakan dari perempuan yang sangat disayanginya. Meski tiga tahun sudah berlalu, tapi pesona Gina tak mampu hilang dari benak Bara. Seolah bayang itu selalu ada dan  menanti untuk kembali. 


Lain Bara, lain pula dengan Gina. Jika Bara mengambil jurusan Sastra Indonesia, gadis berzodiak Aries kelahiran tahun 1996 itu memilih untuk masuk ke jurusan Hubungan Internasional, karena sejak kelas 5 SD dirinya memang menyukai ilmu sosial yang tidak baku dan membutuhkan kecakapan dalam komunikasi dan nalar. Alasan lainnya adalah karena sang kakak juga mengambil jurusan yang sama semasa kuliah. Kakak laki-laki yang terlihat cuek dan egois, namun sebenarnya mampu membuat Gina kagum padanya.


Setelah hubungan tersebut berakhir dengan alasan yang cukup jelas, Gina seolah menghilang dari kehidupan Bara. Segala kontak dan komunikasi diantara mereka terputus begitu saja. Hubungan mereka merenggang. Facebook dan Twitter juga tidak banyak membantu, karena Twitter Gina sudah suspended dan Facebooknya pun sudah terbengkalai. Aktivitas terakhir Gina di Facebook adalah mengganti foto profilnya, itu pun sudah dua bulan yang lalu. Jelas sekali bahwa mereka pun sudah jarang, atau bahkan tidak pernah bertemu lagi.




Sebelumnya Bara telah mengetahui kabar Gina yang diterima di kampus yang sama dengan dirinya. Meskipun diterima lewat jalur yang sama, namun mereka belum pernah saling bertemu di sana, karena Bara yakin jika ia mengajak ketemuan dengan Gina, Gina pasti akan mencari seribu alasan untuk menghindari pertemuan tersebut agar jangan sampai terjadi.


Bara merasa dirinya cukup beruntung, setidaknya, karena sekarang mereka bisa satu kampus, meskipun beda fakultas. Itu berarti mereka (mungkin) akan sering bertemu di acara-acara intern kampus. Buktinya mereka sempat bertemu secara tak disengaja di acara music night yg diadakan fakultas Bara. Ketika itu Dr and The Professor sedang bermain di panggung. Malam itu Bara melihat sosok Gina yang tampak sangat mempesona dengan short dress biru gelap yang menutupi tubuhnya yang berwarna putih langsat, rambut tergerai sempurna, dan sepasang flat shoes abu-abu melekat di kedua telapak kakinya. Bara yang memang masih memendam rasa pada Gina, seolah terpaku melihat sosok Gina. Tak pernah sekalipun Bara dendam dan membenci Gina, meskipun ia tahu Gina selalu cuek dan tak mengindahkan segala bentuk perhatian darinya.


Meskipun di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Gina masih sangat peduli pada Bara. Segala tingkah laku Bara yang ceroboh, tidak pikir panjang, dan cenderung kekanak-kanakan justru tak pernah mengganggunya. Gina merasa Bara adalah sosok yang unik dan spesial baginya. Gina selalu nyaman setiap kali bersama dengan Bara, di mana pun dan kapan pun itu. Bagi Gina, Bara lebih dari sekedar teman maupun sahabat. Tak ada kata yang sang up menggambarkan perasaannya pada Bara. Tapi dirinya tidak mampu mengatakan apa yang dia rasakan, mengingat gengsi dan seleranya yang tinggi. Gina menganggap bahwa perempuan tidak seharusnya berkata jujur duluan tentang apa yang sejatinya ada di dalam hati. Juga karena Gina adalah orang yang sangat menghindari terwujudnya istilah ‘CLBK’. Namun Bara tak pernah menyerah. Ia akan terus memperjuangkan cintanya. Bagi Bara, Gina adalah ‘garis finish-nya’, yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya.




~ ~ ~~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ *** ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ *** ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~



Suatu ketika di siang hari yang cukup cerah, ditemani secangkir black coffee, Bara tengah serius duduk di dalam Starbucks yang terletak di area kampusnya guna mengedit naskah karyanya yang akan dikirimkan ke penerbit. Suasana Starbucks siang itu cukup ramai. Hampir tak ada lagi meja dan kursi yang kosong. Ruangan itu telah terisi dengan mahasiswa yang sedang berpacaran, mengobrol, mengerjakan tugas, ataupun hanya sekedar bersantai menghabiskan waktu sambil mendengarkan lagu. Bara yang saat itu memang sedang sendiri, masih terfokus dengan layar laptopnya sampai ada sosok perempuan berdiri di hadapannya.

                        ‘Gue boleh gabung duduk disini?’

Bara mengalihkan wajahnya dari laptop dan akhirnya menyadari siapa sosok yang berada di hadapannya. Gina. Entah sedang bermimpi atau tidak, Gina sedang berdiri di hadapannya dan ingin duduk bersamanya saat itu. Selama sepersekian detik dia hanya terdiam. Seolah mulutnya ingin menjawab pertanyaan tersebut, tapi tak satu kalimat pun terlontar dari mulutnya. Sampai akhirnya Gina mengulangi pertanyaannya sekali lagi.

                        ‘Bar? Gue boleh gabung duduk disini gak?’

Kali ini Bara telah tersadar dari lamunannya dan akhirnya mampu menjawab pertanyaan tersebut.

                        ‘Ehh, ohh, iya, gapapa gabung aja. Kayak gak kenal aja nanyanya begitu.’
Jelas sekali Bara sangat gugup. Karena detik itu, mungkin Bara merasa sangat dekat dengan surga.
 
                        ‘Iya, abis gue perhatiin dari tadi kayaknya lo serius banget. Serasa punya alam sendiri. Lo lagi ngapain emang?’ kali ini Gina bertanya setelah duduk di kursi di depan Bara. Gina meletakkan tas bawaannya di sampingnya. Gina juga menaruh Caramel Cream Frappucinonya di depan laptop Bara.


                        ‘Ini, gue lagi ngelanjutin naskah gue yang mau gue kirim ke penerbit.’

                        ‘Naskah tentang apa?’ tanya Gina yang nampaknya tertarik. Bara merindukan Gina yang seperti ini, Gina yang selalu bersikap hangat padanya. Gina yang selalu mau menghabiskan waktu bersamanya untuk melakukan hal apapun.


                        ‘Tentang kehidupan nyata gue. Yang bener-bener gue alami.’

                        ‘Oh semacam personal literature gitu ya?’

                        ‘Iya, karena dengan nulis di genre ini, gue bisa membagi kisah gue ke pembaca sekaligus menghibur mereka. Bonusnya buku kayak gini semacam autobiografi juga.’

                        ‘Keren-keren. Obsesi lo sama buku gak ada abisnya ya, Bar.’

                        ‘Kan kata orang buku itu jendela dunia. Apa aja bisa kita temuin di dalemnya. Dunia di dalem buku gak akan abis buat bahan explore. Buku itu punya cara sendiri buat nunjukin pesonanya.’

                        ‘Oke gue setuju sama lo. Karena debat sama lo soal buku gak akan ada abisnya,’ jawab Gina dengan sebuah senyumnya yang khas. Senyuman yang sudah sangat dirindukan oleh Bara. Betapa beruntungnya Bara hari itu.


Mereka menghabiskan waktu cukup lama dengan mengobrol banyak hal. Membahas tentang apa saja sampai mereka seolah memiliki dunia sendiri, mengabaikan suasana di sekitar mereka yang pada awalnya sangat ramai, hingga kini mulai beranjak sepi. Gelak tawa dan candaan berbalas larut dalam kebersamaan mereka. Kenyamanan bersama satu dengan yang lain. Semua terasa sama. Sama seperti rasa yang ada ketika mereka berjanji untuk bersama. Ketika sebuah kalimat sederhana dari mulut Bara mendeklarasikan sebuah ajakan untuk menjalin komitmen bersama.

                        Let’s do this together, just the two of us, for the rest of our lives.’

Sebuah untaian kata sederhana, yang tak kuasa ditolak oleh Gina, karena ia hanya menjawab dengan sebuah anggukan dan pelukan hangat.


Saat ini, ketika sosok Gina sedang bercanda gurau di hadapannya, Bara tak mampu membohongi perasaan yang masih melekat dalam hatinya, perasaan yang dikhususkan hanya untuk Gina.

                        I’ve never loved anyone else the way I loved you,’ seru Bara dalam hati.
                       
Jelas sekali Bara masih sangat menyayangi Gina, tetapi Gina masih sangat gengsi untuk bilang bahwa dirinya juga masih menyayangi Bara. Mungkinkah saat ini Bara menjalani yang namanya Unrequited Love, yaitu cinta yang tak terbalas?


Bara memutuskan untuk menunggu, menunggu Gina kembali siap untuk menjalani dan melalui sisa hidupnya bersama Bara. Bara tidak tahu berapa lama ia harus menunggu, tapi itulah kelebihan dari mencintai tanpa batas, you don’t think, you just do. Karena cinta yang tak terbalas pasti akan mengantarkan kita pada perjuangan untuk mencintai tanpa batas.



 ~ ~ ~~ ~ ~~ ~ ~ ~ ~ ~ *** ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ *** ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

 

Hari semakin sore. Matahari senja tak lagi menampakkan kemegahannya, bersiap untuk tenggelam di ufuk Barat. Kicauan burung samar-samar terdengar dari rimbunnya dahan pohon. Disaat hanya tersisa mereka berdua di dalam Starbucks, dan disaat topik pembicaraan dirasa telah habis, Gina menghabiskan Caramel Cream Frappucinonya dan mengambil tasnya, saat bertanya kepada Bara, ‘Bar, lo masih sibuk gak? Kalo nggak temenin gue nonton yuk. Ada film bagus nih sekarang.’

Detik itu juga, Bara menutup laptop dengan sebuah senyum lebar mengembang di wajahnya.




~Sekian~



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Nostalgia Volunteer Java Jazz Festival 2016

Gue dan 'My Blog-graphy'

Ketika Kau LDR