Sepotong Cinta Rasa Abu-Abu





Jam dinding menunjukkan pukul 19.03.  Dengan tergesa-gesa, Robin mengambil polo shirt biru dari dalam lemari pakaian dan segera mengenakannya. Sudah tidak ada waktu lagi, pikirnya. Andai saja sejak tadi ia sudah merencanakan semuanya dengan matang, tentu saat ini ia tidak perlu panik seperti orang yang kebakaran jenggot. Robin harus bergegas. Rencana ini tidak boleh gagal. Ia harus bisa menepati janjinya. Jangan sampai predikat laki-laki yang tidak bisa menepati janji melekat pada dirinya.


Beruntung letak toko buku terdekat dari rumahnya hanya sekitar sepuluh kilometer. Meskipun begitu, ia masih saja panik karena belum tahu akan membeli buku apa. Ibaratnya seperti orang yang mau memasak tapi tidak tahu resep masakannya. Sambil memanaskan mesin mobilnya, Robin mengirimkan pesan singkat kepada Alice. Alice adalah teman satu sekolahnya, meskipun kelas mereka berbeda karena mereka meminati jurusan yang berbeda. Seharusnya Alice adalah adik kelas Robin karena umurnya lebih muda satu tahun. Tetapi karena di SMP pernah mengikuti program akselerasi, maka Alice pun bisa satu angkatan dengan Robin.

‘Lo sukanya apa? Science-fiction? Atau buku-buku non fiksi?’ tanya Robin setelah membuka percakapan.

‘Gue gak suka buku begituan. Gue lebih suka buku tentang sosial politik atau yang isinya tentang biografi gitu. Tentang psikologi gue juga suka.’

‘Oh gitu. Oke-oke. Jadi intinya gak suka novel dan sejenisnya?’

‘Iya, gue kurang suka sama novel. Gatau kenapa. Gak kayak cewe kebanyakan. Gue kan orangnya anti mainstream haha.’

‘Yaudah kalo gitu. Semoga nanti gue bisa nemuin buku yang sesuai selera lo. Doain gue aja,’ lanjut Robin.

‘Haha lagian aneh. Mau beli kado kok baru nanya beberapa jam sebelumnya. Gak prepare banget lo jadi cowo.’

‘Aduh lo kayak baru kenal sama gue aja sih. Udah ya gue mau on the way dulu. Bye.



~~~~~~~~~ 




Kalau saja bukan karena janjinya pada Alice, tentu Robin tidak akan mau keluar rumah malam hari. Apalagi esok adalah hari Senin. Ditambah lagi dengan ujian fisika yang akan diberikan Pak Handoyo. Bahan yang seabrek itu rencananya akan dilahapnya malam ini. Tapi karena  kepikunan dini yang diidapnya, Robin harus pergi dulu ke toko buku sebelum bisa mulai menyantap sajian rumus dan angka yang ada di setiap halaman buku catatan fisikanya.


Dewi Fortuna menaungi Robin. Seolah tahu jika dirinya sedang terburu-buru, Dewi Fortuna membuat jalanan dari rumahnya hingga ke toko buku lengang di Minggu malam yang biasanya ramai. Dengan kecepatan tinggi, mobil Robin melesat tanpa ada satupun hambatan. Hanya dalam waktu sepuluh menit dirinya sudah tiba di sana.


Saat ini di dalam toko buku, kegelisahan dalam diri Robin belumlah sirna. Setelah bertanya pada petugas, ia langsung menuju ke rak tempat buku-buku biografi dan sosial politik dipajang berdampingan. Robin bingung karena selain banyaknya judul buku yang ada di situ, ia juga harus menyesuaikan harga buku dengan budget yang dibawanya sekarang. Karena banyak pengeluaran dalam seminggu terakhir, Robin tidak membawa banyak uang dalam dompetnya saat ini. 


Bukan karena Alice telah membelikan hadiah ulang tahun untuknya beberapa bulan lalu hingga membuat dirinya merasa berhutang. Lebih dari sekedar rasa berutang budi, Robin merasa dirinya memang pantas untuk memberikan hadiah pada Alice di hari ulang tahunnya besok. Alice, yang sempat mengisi hari-harinya sebagai kekasih walau hanya dalam waktu yang singkat, sudah dianggap sebagai adiknya sendiri. Tidak ada istilah musuh selepas berakhirnya hubungan mereka itu. Karena rasa saling menyayangi diantara mereka tidak mampu dibatasi oleh status semata. Tidak pernah ada rasa dendam maupun amarah diantara mereka. Hubungan mereka berakhir dengan damai dan didasari kedewasaan satu sama lain.


Sudah setengah jam lebih ia memilih buku, tapi tak satupun yang sesuai dengan keinginannya. Terlebih karena Robin ingin memberikan buku yang tidak hanya sekedar bagus, tetapi juga yang berkesan. Kalau bukan kepada Alice, ia tidak akan sudi berlama-lama memilih buku dan berpikir keras seperti saat ini. Diambilnya sebuah buku yang desain sampulnya menarik, tetapi setelah membaca sinopsis di belakang bukunya, ia merasa kurang puas dan meletakkannya kembali di rak. Beberapa saat matanya mencari, diambilnya buku lain dengan judul yang cukup menarik, tetapi karena desain sampulnya terkesan aneh, ditaruhlah buku tersebut di tempatnya semula. 


Meskipun terkesan cuek, tidak pikir panjang, dan kadang ceroboh, tetapi Robin adalah laki-laki yang perfectionist. Ia selalu ingin apapun yang dia punya dan lakukan adalah yang terbaik dan sempurna. Tidak boleh terkesan biasa atau sama dengan yang orang lain punya atau lakukan.



Robin adalah tipe laki-laki yang sangat menghargai perempuan. Dalam konteks bercanda sekalipun, ia tidak pernah melukai hati perempuan. Termasuk juga Alice. Alice Sanjaya. Perempuan yang dikenal pintar di sekolah ini pernah menjalin kisah indah dengan Robin. Meskipun hanya satu minggu, tapi hubungan itu sangat membekas di hati Alice. Betapa setiap perlakuan Robin ketika menjadi kekasihnya begitu berwarna bagi Alice. Bagaikan abu-abu yang telah berubah menjadi warna yang sangat cerah. Layaknya ulat yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Alice merasakan hidupnya berubah saat Robin mengikrarkan janji setia bersamanya. Ketika nama persahabatan terganti dengan nama cinta. 


Alice bukanlah tipe perempuan yang mudah membuka hati untuk seorang laki-laki. Jika hal itu sampai terjadi, berarti laki-laki tersebut adalah orang yang benar-benar spesial. Dan adalah Robin Prasetya yang mampu meluluhkan hati Alice yang sungguh berpegang pada pendiriannya selama ini. Hari-hari mereka seolah tanpa beban. Seolah hanya ada mereka saja di dunia ini. Di dunia Alice hanya ada Robin, begitu pula sebaliknya. Ketika Alice adalah Robin dan Robin adalah Alice. Ketika nama mereka saling mengisi bio Twitter satu sama lain. Ketika foto mereka ada di dompet satu sama lain. Saat satu dari mereka akan selalu ada dan memahami yang lain. Tanpa pernah ada rasa canggung atau tidak nyaman karena perbedaan usia.


Sampai akhirnya Robin sadar bahwa rasa yang ia berikan pada Alice berada pada kadar dan porsi yang tidak seharusnya. Robin sadar ada perbedaan di antara mereka setelah mereka berjanji untuk bersama. Rasa persahabatan dan sayang sebagai adik telah dipaksakan berganti menjadi rasa saling memiliki antara dua hati. Itulah hal yang tidak terpikirkan oleh Alice. Maka sebelum semuanya terlanjur keruh dan berubah menjadi hambar, Robin mengatakan hal tersebut kepada Alice. Memang sakit dan pahit. Tapi setiap orang pasti lebih memilih kebenaran yang menyakitkan daripada kebohongan yang terkesan manis.
Alice pun akhirnya menerima. Satu kalimat penuh arti dari Robin mengakhiri telepon mereka di suatu malam.

                        ‘Gue akan selalu sayang sama lo. Rasa sayang gue gak akan pernah berubah. Gue akan selalu ada buat lo. Karena status bukan penghalang buat kita.’

Dan warna yang sangat cerah pun pada kenyataannya kembali menjadi abu-abu. Abu-abu yang sangat pekat, bahkan cenderung menjadi warna hitam.




 




Karena sudah larut malam dan toko buku tersebut hendak tutup, Robin akhirnya meyakinkan diri untuk membeli sebuah buku biografi. Kebetulan harga buku tersebut juga sesuai dengan budget-nya. Setelah membayar, Robin bergegas menuju ke parkiran yang kini hanya menyisakan beberapa mobil saja yang terparkir. Sebelum membuka pintu mobil, Robin memandangi kembali buku yang dibelinya. Semoga saja Alice menyukainya, begitu pikir Robin. 


Perjalanan pulang dilalui Robin sama cepatnya dengan perjalanan awal ke toko buku. Perjuangannya belum usai. Sebelum memulai perangnya dengan catatan fisika, Robin harus membungkus buku yang baru dibelinya itu. Dengan kertas kado yang juga dibelinya di toko buku, Robin mulai membungkus buku tersebut dengan kemampuannya yang ala kadarnya. Jangankan untuk membungkus kado, membuat surat kepada perempuan yang ditaksirnya saja ia sering meminta bantuan temannya yang lain. Tapi kali ini berbeda. Kepada Alice, ia mampu mengutarakan segala isi hatinya di atas secarik kertas. Ucapan selamat ulang tahun serta ungkapan rasa sayangnya kepada Alice diakhiri dengan sebuah tanda tangan. Tanda tangan yang sudah sangat dikenal oleh Alice.


Dan dengan kado tersebut, Robin mewujudkan rasa sayangnya kepada Alice, karena menurutnya cinta yang tulus tidak mampu dibatasi oleh status apapun. Robin akan selalu menyayangi Alice dalam setiap hari-harinya. Menyayangi Alice tanpa mengenal batasan. Apapun itu.

~~~~~~~~~                        Sampai kapanpun.





Karena kurang mahir dalam membungkus kado, Robin akhirnya membutuhkan waktu yang lama sampai kado itu selesai dibungkus. Jam dinding menunjukkan pukul 00.17. Rasa kantuk dan lelah mulai menggodanya untuk tidur. Ditambah lagi dengan hujan yang turun saat itu, membuat udara menjadi sejuk dan menjerat siapapun untuk tertidur. Ia membaringkan diri di atas kasurnya. Bantal dan guling kesayangan sudah menemani. Hanya perlu waktu beberapa detik lagi hingga dirinya benar-benar tertidur. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia terbangun dari kasurnya dan teringat akan satu hal.

                        ‘GILAA GUE BELOM BELAJAR FISIKAA!!!!’


 
 

Komentar

  1. Hahahaa harusnya fisika yg di utamakan yaa..
    Salam kenal
    Kunjungi juga yaa ketikapandacerita.blogspot.com
    ^^.

    BalasHapus
  2. haha iya sih harusnya. terimakasih udah mampir :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Nostalgia Volunteer Java Jazz Festival 2016

Gue dan 'My Blog-graphy'

Ketika Kau LDR