Ketika Cinta Datang di Waktu yang Salah
Ada sebuah kisah. Kisah
yang nyata terjadi. Pengalaman yang tidak semestinya dia alami karena masalah
perbedaan status.
Sebut saja namanya Nata. Perjalanan panjang dari Surabaya
menuju Bandung harus dilaluinya dalam rangka menjalani study tour dari sekolahnya yang memang berada di Surabaya.
Rombongan lima bus besar mengantarkan Nata dan teman-temannya ke kota yang
dijuluki Paris van Java. Kelelahan
dalam perjalanan panjang delapan belas jam tentu sangat terasa ketika malam
tiba. Tapi tidak begitu yang dirasakan Nata. Karena siang hari telah
beristirahat dengan nyenyak, maka malam itu rasa kantuk tak mampu menggodanya
untuk tertidur. Disaat teman-temannya telah tertidur pulas, Nata masih dalam
keadaan terjaga duduk di samping bapak supir.
Meninggalkan temannya
Kumbang yang sejak pagi duduk menemani di bangku sebelahnya, saat ini Nata
seolah sedang menonton bioskop gratis. Gemerlap lampu jalan dan lalu lalang
kendaraan di malam hari membuatnya merasa excited
karena jarang mengalaminya selama di Surabaya. Karena di Surabaya, hampir tidak
pernah Nata bepergian dengan naik bus, apalagi duduk di samping pengemudinya.
Ditambah lagi kelihaian pak supir dalam melewati truk atau mobil di depan,
membuat Nata sama sekali tidak merasakan kantuk. Hampir selama dua jam Nata
dengan setia duduk menemani pak supir. Supir bus tentunya, bukan delman.
Malam semakin larut. Jalanan
semakin lengang, tidak seramai beberapa jam yang lalu. Hanya ada beberapa
kendaraan yang terlihat melintas, termasuk lima bus besar asal kota Surabaya
tersebut. Jam di handphone Nata sudah menunjukkan pukul 00.13. Ia mengalihkan
pandangannya ke orang-orang di sekitarnya. Sang kondektur bus, sedang menikmati
mimpi indahnya yang tergambar dari senyum di wajahnya. Nata mengalihkan
pandangannya ke bangku di belakangnya. Pak Rudi, gurunya, juga sudah tertidur
lelap. Teman-temannya yang lain juga masih menikmati mimpi mereka
masing-masing. Kalau tidur tergolong dalam jenis penyakit, mungkin tidur akan
masuk ke golongan penyakit menular, begitu pikirnya. Beberapa menit kemudian
Nata memutuskan untuk kembali duduk di jajaran bangku belakang, kembali
menemani Kumbang sang teman duduk setianya. Satu kalimat singkat dikatakan Nata
kepada bapak supir,
‘Saya duduk di belakang ya pak, udah ngantuk
hehe mari pak.’
Bapak supir hanya
mengiyakan perkataan Nata. Maka mulailah Nata berjalan perlahan menuju ke
tempat duduknya semula di belakang, sembari melihat sekilas wajah
teman-temannya yang tengah tertidur. Sesekali Nata tersenyum kecil ketika
melihat wajah temannya. Ekspresi tidur yang jauh berbeda dari ekspresi mereka
biasanya ketika sedang terbangun.
Dan ketika sampai ke
tempat duduknya, Kumbang tidak ada di sana. Nata menoleh ke kiri dan mendapati
Kumbang sudah tertidur lelap di samping temannya yang lain, Raka. Yang duduk di
posisi Kumbang sekarang adalah Bintang,
teman perempuannya, yang juga sedang tidur lelap. Didorong rasa kantuk yang
mulai menyerang, ditambah juga dengan situasi tempat duduk saat itu, maka tak
ada pilihan lain bagi Nata selain duduk di samping Bintang. Ia pun menjatuhkan
dirinya ke tempat duduk di samping Bintang. Nata merapatkan jaketnya, menyadari
bahwa pendingin ruangan terasa semakin dingin di malam hari.
Nata menoleh ke arah
Bintang. Dilihatnya sosok yang sedang menikmati tidurnya. Bintang tidur
menghadap ke arah jendela, kepalanya agak miring juga ke arah jendela, dengan
menggunakan jaketnya untuk menutupi badannya yang kedinginan. Kacamata yang
biasa ia kenakan, saat ini tidak ia pakai. Rambutnya pun terurai sempurna. Nata
bergumam sejenak, Bintang yang biasanya sering bercanda-canda dan terkesan
selalu aktif di depan teman-temannya, ternyata jika sedang tidur beda banget.
Yasudahlah, sekarang biarkan diri ini juga beristirahat, pikirnya. Nata mulai
memejamkan mata.
Satu menit dua menit
pun berlalu. Namun Nata tetap tidak bisa tertidur. Padahal ia merasakan matanya
sudah sangat berat. Udara dingin pun seharusnya membantunya tertidur. Nata
masih berusaha memejamkan matanya. Sayup-sayup terdengar suara tombol telepon
seluler yang sedang ditekan. Nata membuka matanya, mencari darimana asal suara
tersebut, yang kemudian ia sadari berasal dari sosok di sampingnya. Bintang
terbangun, dan sekarang dengan mata yang masih terlihat sayu, sedang membuka timeline Twitternya. Nampaknya Bintang
tidak menyadari Nata yang tengah tersadar dari usahanya untuk tidur. Nata masih
melihat ke arah Bintang, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk menyapa,
‘Lo
kebangun? Kayaknya daritadi tidur lo pules banget. Gue jadi ngiri.’
Bintang terkejut, baru
menyadari bahwa sejak tadi ada orang lain yang masih terjaga selain dirinya
sendiri. Bintang menoleh ke arah Nata dan menjawab,
‘Eh lo masih hidup. Iya nih gue tiba-tiba
kebangun. Gue kira gak ada yang masih melek. Yaudah gue buka twitter aja.’
‘Yaudah ya, sekarang gantian, gue yang mau
tidur. Udah jam satu nih.’
‘Gih sana tidur, yang lama ye.’
Nata tidak menjawab
lagi perkataan Bintang. Ia sudah mencoba memejamkan matanya. Dan kali ini
usahanya berjalan mulus. Sekitar satu jam Nata berhasil untuk tidur, meskipun
waktu satu jam tidur malam sangatlah kurang jika dibandingkan kebiasaannya
tidur malam. Mungkin karena tidur di perjalanan bukanlah salah satu bakatnya.
Suasana masih sangat sepi. Telinganya hanya mampu mendengar deru mesin bus yang
sedang membawanya sekarang. Menandakan jika teman-temannya belum banyak yang
terjaga. Atau mungkin belum satu pun. Tapi dalam keadaan setengah sadar, Nata
mampu merasakan sesuatu. Ia merasakan sesuatu di badannya. Secara spesifik di
bahu kirinya. Seperti ada sesuatu yang berada di bahunya. Sesuatu yang seolah
bertumpu karena tidak mampu berdiri sendiri. Sesuatu yang sebenarnya sudah ia
tahu kepastian rupanya tanpa perlu melihat. Untuk memastikan instingnya tidak
salah, Nata membuka matanya. Dengan penuh kepastian ia menoleh ke kiri, untuk
melihat sesuatu yang bertumpu di bahunya. Dan benar saja. Dugaannya tepat.
Kepala Bintang telah bersandar tepat di bahu kirinya. Bintang yang kembali
sedang tertidur lelap.
Selama sepersekian
detik Nata merasakan ada yang janggal. Ia tidak tahu pasti harus bereaksi
seperti apa. Ia bahkan tidak tahu harus merasa apa, antara senang, biasa saja,
atau malah terganggu. Sudah sangat lama dirinya tidak berada dalam kondisi
seperti ini. Tentu saja karena hubungannya dengan pacar lamanya, Mira, telah
berakhir dua tahun yang lalu. Waktu yang cukup lama untuk berkutat dalam
kesendirian. Dalam waktu dua tahun itu sebenarnya banyak perempuan yang silih
berganti dekat dengannya. Tapi yang mampu membawanya kembali berani berkomitmen,
belum ada.
Keadaannya sekarang
ini, dengan kepala Bintang yang bersandar di bahu kirinya, membuatnya merasa
serba salah. Nata punya dua pilihan. Jika ia memindahkan kepala Bintang agar bersandar
ke jendela lagi, ia takut Bintang akan terbangun dan itu berarti dirinya telah
membangunkan Bintang secara tidak sengaja. Pilihan lainnya, jika ia tetap
membiarkan Bintang tertidur di bahunya, ia takut ada temannya yang sudah bangun
dan melihat keadaan tersebut, kemudian mengatakannya kepada Toni, pacar Bintang,
yang berada di bus sebelah.
Akhirnya setelah melalui
pergulatan batin, Nata merelakan bahunya sebagai tempat bersandar Bintang dalam
lelapnya, sambil berharap tidak ada satupun temannya yang melihat. Kalau suatu
ketika ada temannya yang melihat, Nata akan secepatnya pura-pura tidur,
sehingga semuanya terkesan kebetulan semata.
Drrrrrtttttt… Drrrrrrrttttttt……. Drrrrrrrtttttt……
Ternyata ponsel Nata
bergetar, entah siapa yang sms atau BBM pada pukul setengah tiga pagi. Setelah
melihat layar ponselnya, ternyata baterainya sudah hampir habis. Mungkin karena
getaran ponsel Nata yang terlalu keras, Bintang pun terbangun. Diangkatnya
kepalanya dari bahu Nata. Untuk menghindari rasa canggung yang mungkin akan
mereka rasakan, Nata bertanya kepada Bintang,
‘Eh kebetulan lo bangun. Gue mau pinjem power bank lo dong. BB gue udah low parah nih.’
Tanpa menjawab, Bintang
mengambil tas kecilnya yang berada di bawah tempat duduknya, lalu mulai mencari
barang yang dimaksud. Beberapa saat kemudian, Bintang memberikan power banknya kepada Nata.
‘Nih pake aja.’
‘Eh gue boleh sekalian pinjem headset lo gak? Gue bosen. Gabakal bisa
tidur lagi gue sampe pagi pasti.’
Dengan sedikit malas,
Bintang kembali membuka tasnya dan mencari headset.
Setelah memberikan headsetnya,
Bintang berkata,
‘Abis ini lo pinjem barang lagi, lo dapet
piring cantik ya.’
‘Hehe nggak kok nggak. Udah cukup. Makasih ya,
Bin.’
Setelah menghubungkan headset dan power bank ke
ponselnya, Nata memejamkan mata sambil menikmati lagu yang diputarnya. Nata
masih menganggap apa yang dilakukan Bintang padanya ketika dirinya tidur
hanyalah kebetulan semata. Jadi Nata tidak perlu bertanya apa-apa tentang hal
tersebut.
Sudah lima lagu yang
Nata dengarkan, tapi matanya sudah tidak mau lagi terpejam. Di sampingnya,
Bintang sudah menikmati mimpinya yang seasons
3. Kali ini kembali bersandar di bahu Nata. Tak lupa dengan jaket Nata yang
melapisi jaket Bintang yang ternyata belum cukup hangat bagi Bintang. Nata
kembali menutup matanya. Hanya sekedar menutup, karena sudah tak mampu tertidur
lagi. Seketika tangan kanan Bintang meraih tangan kiri Nata dan sekarang memeluknya
erat. Satu lagi kebetulan, pikir Nata. Mungkin ACnya memang benar-benar dingin.
Dan Bintang tak mampu melawan rasa dingin itu sendirian. Entah saat itu Bintang
sadar atau tidak. Nata tidak mampu melawan. Tidak mampu mengelak. Dirinya tak
bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa merelakan bahu dan tangannya dipeluk oleh
seorang perempuan, yang sudah memiliki pasangannya sendiri.
Dia hanya kedinginan, Nat.
Begitu kata Nata kepada dirinya sendiri. Tidak ingin hal ini menimbulkan
perasaan-perasaan lain dalam dirinya. Begitu pula pada diri Bintang. Perasaan yang
tidak semestinya tumbuh. Perasaan yang terhalang sebuah tembok. Mungkin bukan
tembok. Lebih besar lagi. Perasaan yang terhalang sebuah jembatan panjang
bernamakan ‘STATUS’. Perasaan yang akan melukai keakraban diantara mereka
biasanya. Atau bahkan juga melukai perasaan sebuah hati di bus sebelah.
Nata masih berpedoman
pada pemikirannya tadi. Bahwa sikap Bintang ini hanya didasari dirinya yang
kedinginan. Tidak lebih. Dan itu tidak berarti apa-apa baginya. Seharusnya. Sebagai
teman yang baik dan peduli, sudah seharusnya Nata membantu Bintang melawan rasa
dingin yang seolah menusuk setiap sendi tubuhnya itu. Maka dengan penuh
keberanian (dan pastinya rasa nekat), Nata mengelus kepala Bintang beberapa
kali. Tak lupa Nata juga menaikkan jaketnya yang dipakai Bintang, karena
posisinya sudah hampir jatuh. Perlakuan yang seharusnya ia berikan kepada
pacarnya sendiri, dan bukan pacar orang lain. Nata hanya berharap Bintang
benar-benar tertidur, dan tidak ada temannya yang melihat hal tersebut. Apakah
ini pertanda cinta? Atau hanya ungkapan kepedulian seorang teman? Nata tidak
tahu. Nata sendiri tak mampu menjawabnya dalam hati. Semua yang akan terjadi,
terjadilah. Biarlah semuanya terjadi sebagaimana mestinya. Biarlah detik ini, Nata
menjadi sosok teman yang baik. Teman yang peduli. Tidak lebih.
Pagi hari, saat jam di
ponselnya menunjukkan pukul 07.05, Nata menerima pesan singkat ketika dirinya
sedang berada di kamar penginapan. Saat itu semua siswa memang diperbolehkan
untuk beristirahat sejenak setelah tiba di Bandung. Pesan singkat itu berasal
dari Bintang.
‘Nat, makasih buat yang semalem. Gue gak
pernah senyaman itu sama Toni.’
Nata jelas kaget
membacanya. Itu artinya Bintang semalam tidak sepenuhnya tidur. Dan hal lain
yang membuatnya kaget adalah Bintang tidak marah atas apa yang diterimanya tadi
malam.
Setelah menghela napas
panjang, Nata membalas pesan tersebut,
‘Iya Bin, sama-sama. Gue gak ada maksud
apa-apa.’
Guna melupakan peristiwa
semalam dan menghindari hal yang tidak diinginkan, Nata menghapus pesan
tersebut. Pesan dari Bintang. Nata berjanji pada dirinya sendiri tidak akan
menceritakan hal ini pada siapapun, sambil berharap Bintang juga melakukan hal
yang sama.
Ternyata hubungan
Bintang dan pacarnya yang sudah berjalan satu tahun tidak menandakan kenyamanan
yang berjalan selaras umur hubungan tersebut. Nata tidak salah. Bintang juga
tidak salah. Mungkin yang bisa dipersalahkan di sini adalah keadaan. Dan juga
waktu. Keadaan dan waktu yang tidak tepat, yang membuat semuanya seolah salah
dan tidak semestinya terjadi. Keadaan diantara mereka yang penuh dengan
batas-batas dan aturan. Padahal sebenarnya, cinta tidak memerlukan aturan,
apalagi logika. Cinta hanya butuh kejujuran.
Apakah lebih baik jika
cinta datang di waktu yang tepat namun kepada orang yang salah? Atau akan lebih
menyenangkan ketika cinta datang di
waktu yang salah, namun kepada
orang yang tepat? Setiap orang punya
jawabannya sendiri.
~ ~ ~
Komentar
Posting Komentar