Setiap Orang adalah Guru, Setiap Tempat adalah Sekolah

Halo my loyal readers! : )






Haaahhhh, lama banget rasanya gak nyentuh laptop dan buka blog gue sendiri.  Tapi akhirnya rasa kangen dan rindu gue bisa hilang sekarang hehe. (NP: Dewa - Kangen) Nah sekarang gue akan bercerita sedikit tentang kehidupan singkat gue selama menjalani Live In, seperti yang sudah gue ceritakan sedikit di post 'Tunggu Saya, Sri Sultan Hamengkubuwono'. Gue Live In di Yogyakarta, di desa Wonosari, tepatnya di daerah Playen. Gue dan teman-teman menuju ke Jogja dengan naik bus. Dan jelas sekali memakan waktu yang lama, dua belas jam lebih. Juga butuh kekuatan ekstra dari pantat gue.



Jadi di sana gue tinggal di rumah Bapak Suhartono, seorang bapak yang setiap hari giat bekerja di ladang. Isterinya, Ibu Sumiyati, adalah sosok dibalik hidangan-hidangan lezat dalam keluarga ini. Keluarga ini memiliki tiga orang anak. Si sulung sudah menikah dan sekarang tinggal di Lippo Cikarang. Anak kedua sudah lulus SMA di tahun 2011 dan sekarang tinggal bersama kakaknya. Nah jadi tinggal si bungsu yang masih menemani ayah dan ibunya. Secara khusus gue dikenalkan langsung oleh Ibu kepada anak bungsunya. 'Nah ini anak ibu yang terakhir. Namanya Maria Magdalena. Ayoo Niken, kasih salam dulu sama kakaknya.' Si anak yang dimaksud langsung memberi salam ke gue dengan mencium tangan gue. Sementara gue............................................ masih belom sadar apa yang terjadi beberapa detik yang lalu. Siapa Maria Magdalena?!! Siapa Niken?!! Siapa anak ini?????!!! Dari mana asal nama panggilan 'Niken' dari nama lengkap 'Maria Magdalena'? Gue gak habis pikir. Apa ini udah tradisi orang desa, memanggil nama anak mereka yang gada hubungannya dari nama lengkapnya? Biarlah ini tetap menjadi misteri.




Pengenalan kebiasaan sehari-hari keluarga ini yang pertama kali gue terima adalah menonton tv. Ibu mengajak gue ke ruang tengah, ruangan yang nantinya gue tahu sebagai ruangan tempat keluarga ini selalu berkumpul di malam hari. Ibu bilang ke gue, 'Yaudah kamu nonton tv dulu aja, santai. Baru nanti ikut Bapak ke ladang.' Ibu kemudian mengambil remote tv, menyalakan tv, mengatur channelnya, kemudian pergi meninggalkan gue. Satu hal yang gak gue mengerti sampe sekarang gue udah balik ke Jakarta, saat itu Ibu menyetel tv dan mengatur channelnya di Tr**sTV, dimana saat itu sedang ada acara Insert. Ya, Insert. Acara infoinment. Ibu meninggalkan gue sendirian dengan secara gak langsung nyuruh gue nonton Insert. Dimana saat itu ada beritanya Derby Romero ngurusin koleksi motor-motornya yang ada di rumah. Mungkin itu adalah acara favoritnya Ibu. Yang Ibu gak tahu, itu bukanlah acara favorit gue. Ibu, kenapa kau lakukan ini padaku?




Kemudian siang harinya Bapak mengajak gue pergi ke ladang. Dia membawa beberapa pipa panjang yang berdiameter lima centi, sementara gue membawa sebuah sabit, caping, dan botol air minum satu setengah liter. Jarak dari rumah ke ladang cukup jauh, sekitar dua kilometer. Gue menempuhnya dengan berjalan kaki. Buat Bapak mungkin udah biasa, tapi buat gue jadi luar biasa. Dan bener aja, sampe di ladang gue ngos-ngosan. Gue kalah sebelum berperang. Rencananya Bapak hari ini mau bikin penampungan air buat mengairi tanaman-tanaman di ladangnya. Tentu hari ini (sialnya) dengan bantuan gue. Bapak mulai menyangkul dengan cangkul yang sengaja dia tinggal di gubuk di tengah ladangnya. Dengan kemampuannya yang sudah mahir, Bapak menunjukkan skill mencangkulnya kepada gue. Bongkahan tanah hasil cangkulan Bapak terlihat besar-besar. Itu menumbuhkan harapan sekaligus rasa iri buat gue. Gue ingin mencoba. Gue pun meminjam cangkul Bapak. Dengan penuh rasa percaya diri, gue mengayunkan cangkul gue ke tanah. Beberapa kali gue menyangkul, gue melihat hasil yang diluar harapan gue. Bongkahan tanah yang gue cangkul terlihat sangat unyu-unyu, gedenya cuma sebesar marmut Hamtaro yang dulu sering gue tonton. Gue merasa hina. 

Bapak yang kelahiran tahun 1961, masih kuat menyangkul dengan hasil yang memuaskan. Bahkan Bapak gapernah minum selama bekerja di ladang. Botol air satu setengah liter yang gue bawa tadi habis gue minum seorang diri. Ya, itulah bukti-bukti kejayaan gue di ladang. Gue juga ingat bahwa selama gue dan Bapak ngobrol banyak di ladang, Bapak mengulang satu kalimat yang sama beberapa kali. Di saat gue dan Bapak lagi ngebahas satu hal misalnya, tiba-tiba Bapak secara random bilang, 'Nanti kalo ditanya ibu di Jakarta bilang kerja di ladang bikin penampungan air. Kerja di ladang panas juga. Ngerasain hidup di kampung susah.' Ya, itu adalah kalimat yang Bapak ulang beberapa kali. Mungkin empat atau lima kali. Gapapa, gue maklum kok. Itu kan amanah dari seorang bapak kepada anaknya. Itupun kalo Bapak sudi mau nganggep gue sebagai anaknya.





Sepulang dari ladang, gue diajak (lagi) sama Bapak buat ke rumah saudaranya. Kebetulan atau nggak, rumah Bapak dengan rumah saudaranya deket banget. Cuma beberapa meter jaraknya. Rumah saudaranya bisa terlihat dari rumah Bapak. Atau singkatnya, rumah mereka sebelahan. Gue diberitahu oleh Bapak kalo Bapak mau motong kambing sama saudara-saudaranya. Gue yang di Jakarta gapernah ngeliat tukang sate kambing lagi motong kambing, jadi penasaran pengen ngeliat proses pembantaian kambing. Siapa tau gue bisa nambah ilmu dan nanti bisa jadi tukang potong kambing qurban. Total ada enam orang yang akan motong kambingnya, yaitu Bapak, dua orang saudaranya Bapak, dua orang adik iparnya Bapak, sama satu orang ponakannya Bapak. Nampak juga beberapa anak dari iparnya Bapak yang masih bocah-bocah juga ikut ngeliatin proses pemotongan kambing. Ternyata bocah-bocah di desa udah kenal istilah kepo.



Langkah pertama dalam proses pemotongan kambing adalah memotong kepalanya. Gak perlu pake suntik mati atau dibius kayak di rumah sakit, tapi langsung potong bagian lehernya hidup-hidup. Darah mengalir deras dari leher si kambing. Kambing sempat merintih beberapa kali. Tapi apa daya. Dia telah resmi wafat. Gue gak nyangka Indonesia kehilangan seorang penulis muda yang hebat. Selamat jalan Raditya Dika. Semoga karya-karyamu akan abadi sampai kapanpun. Amin.
Tahap selanjutnya cukup unik, yaitu memompa bagian tubuh si kambing melalui kakinya yang telah diberi celah. Tubuh si kambing dipompa hingga membesar. Tahap ini berguna untuk memudahkan melakukan tahap selanjutnya, yaitu memotong seluruh bulu si kambing, atau istilahnya 'menggunduli'. Proses menggunduli berjalan cukup lama. Sebelum digunduli, bulu-bulu si kambing disiram dulu dengan air panas supaya lebih gampang dipotong. Proses selanjutnya adalah menguliti si kambing. Di tahap ini gue bisa melihat dengan jelas usus, hati, lambung, ginjal, dan seluruh isi perut si kambing. Bentar ya, gue mau muntah dulu.


Setelah menguliti, si kambing dipotong-potong dagingnya. Badan, kaki, dan bagian lainnya telah lepas dari tulangnya. Daging-daging besar tadi kemudian dipotong kecil-kecil lagi untuk dijadikan sate. Tak lupa tulang iganya juga dijadikan sop. Bagian terakhir sekaligus penutup proses ini adalah membakar kepala dan telapak kaki si kambing. Sampai berjumpa di alam yang lain ya, mbing.





Dari keseharian gue hari itu, gue bisa mengambil satu  hal yang baru gue sadari. Sebagai orang kota yang terlalu modern dan sibuk, terkadang kita suka lupa dengan keluarga kita. Kita selalu sibuk dengan urusan masing-masing, kesibukan masing-masing, bahkan dengan gadget masing-masing. Kita jarang berkumpul dengan orangtua ataupun saudara kita. Dalam keluarga ini, berkumpul adalah hal yang sederhana, sesederhana menonton tv bersama di ruang tengah, pergi dan bekerja bersama di ladang, atau bahkan memotong kambing dan memakannya bersama-sama. Kita mungkin sering pergi  ke mall, tempat hiburan, atau tempat rekreasi lainnya yang budgetnya tidak murah bahkan tergolong mahal. Kebanyakan orang mungkin bisa bahagia dengan menggunakan uangnya, tapi masih ada orang-orang lain yang bisa bahagia dengan hal-hal yang sederhana, hal-hal yang tidak membutuhkan biaya yang mahal, bahkan mereka bisa bahagia tanpa menggunakan nilai Rupiah.










Dan Bapak gue (Pak Suhartono) yang gak punya latar belakang pendidikan yang mapan, tetap bisa mengajarkan gue beberapa keterampilan hidup yang gak bisa gue dapet dari guru-guru di sekolah gue. Gak lupa juga, desa kecil yang masih sepi dan damai ini juga bisa mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang belum tentu bisa gue dapatkan di ibukota negara kita. Dimanapun kita berada, pasti ada pelajaran berharga yang bisa kita petik dari sana.









Oke udah ya, gue mau belajar nyangkul dulu. Sekalian gue mau motong kambing tetangga gue. Menerapkan ilmu yang udah gue punya. Ilmu pemotongan kambing.



See you guyss!! : D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Nostalgia Volunteer Java Jazz Festival 2016

Gue dan 'My Blog-graphy'

Ketika Kau LDR